Archive
Tante Djie Bik
Hari Sabtu lalu saya mengantar Tante Untari berkunjung ke sebuah panti wredha di Yogya. Ada sosok yang sama2 kami kenal di sana. Kami mau menjumpai Ibu Tan Djie Bik.
Ibu Tan Djie Bik – saya biasa mengenalnya sebagai Tante Djie Bik – adalah salah satu guru Sekolah Minggu (SM) waktu saya kecil dahulu. Beliau dulu juga adalah guru SM Tante Untari (adik bungsu ayah saya) dan bahkan juga Tante Kris (adik ayah saya persis). Tante Djie Bik aktif sebagai guru SM dan aktif dalam berbagai kegiatan di gereja kami selama berpuluh tahun.
Tante Djie Bik tidak berkeluarga, dan di usia senjanya ia memutuskan untuk tinggal di panti wredha sejak dua tahun lalu. Ia kini berusia 89 tahun, dengan pikiran yang masih aktif dan ingatan yang masih tajam. Ia merasa damai dan sejahtera tinggal di panti wredha tersebut.
Tante Djie Bik, sosok yang menjadi inspirasi tentang hidup yang lurus dan setia dalam melayani Tuhan.

Bersama Tante Djie Bik
Gatal
Beberapa hari ini saya kena penyakit gatal, kena gigitan serangga. Gatal adalah jenis sakit yang amat menyebalkan. Pengennya digaruk karena akan terasa nikmat, tapi saya juga tahu jika digaruk bakal membuat kulit yang gatal semakin parah kondisinya, salah-salah malah makin melebar area gatalnya. Saya mesti kuat menahan diri agar tidak menuruti hasrat kenikmatan sesaat untuk menggaruk.
===
Tidak jarang kita menghadapi situasi yang membuat kita “gatal”. Di saat berkendara nyaman di jalan, mendadak dipepet kendaraan lain, muncul rasa “gatal” untuk balas memepet. Ketika di medsos ada yang merendahkan nilai-nilai yang kita anggap baik dan mulia, muncul rasa “gatal” untuk membalas. Dan mungkin ada berjuta situasi lain lagi yang membuat hati terasa “gatal” dan menguatkan niat untuk segera “menggaruk”.
Segera balik membalas jelas menjanjikan rasa nyaman instan, rasa lega, rasa menang, rasa puas. Namun apakah itu membuat situasi lebih baik? Bagaimana jika orang yang kita balas pepet di jalan tambah naik emosinya dan kemudian semuanya berakhir dengan tabrakan di jalan? Masih merasa puas? Bagaimana jika balasan kita di medsos berbuah kericuhan besar? Masih merasa menang?
Tidak setiap rasa gatal mesti ditanggapi dengan garukan. Ada kalanya menguatkan hati menahan rasa gatal sambil mencari cara lain untuk mengurai persoalan membuahkan kondisi yang lebih baik, meski mungkin tidak diperoleh seketika.
===
Ada waktu di mana rasa gatal seolah tak tertahankan, dan jari jemari sudah mulai bergerak untuk mulai menggaruk. Niat menahan diri mesti diperkuat. Kini, rasa gatal akibat gigitan serangga itu sudah mereda, setelah rutin dioles salep selama beberapa hari. Perbaikan jelas tampak, walau terasa lambat.
AARRRRGGGHHHH.. GATAL..
Bangkit
Siang tadi, anak lanang mengikuti sebuah lomba. Lombanya adalah menyusun balok Lego menjadi suatu bentuk alat untuk memenuhi misi tertentu. Kali ini misinya adalah untuk membawa bola ping-pong sebanyak mungkin dan mampu merobohkan sejumlah tiang yang tersedia. Alat dirancang tiap peserta, bentuk bebas, dengan bimbingan pengajar. Hasil lomba penting, namun yang lebih penting adalah proses dan pengalaman yang dijalani saat persiapan dan juga saat jalannya perlombaan.
Tiap peserta diberi waktu untuk membangun alat sesuai rancangan mereka, dan diberi kesempatan sebanyak tiga kali untuk menguji kerjanya alat, sebelum nantinya diberi dua kali kesempatan untuk menjalankan alat sambil dinilai. Pada kali pertama ujicoba, alat bikinan anak lanang berfungsi baik, namun masih tersedia ruang untuk perbaikan. Demikian pula pada ujicoba kedua kali. Namun, saat mengusung alat setelah ujicoba kedua, sepertinya dia membawanya kurang berhati-hati, alat jatuh dan hancur berkeping-keping.

Bikin alat

Hancur
Kami selaku orang tua mengamati dari jauh dari awal, dan tetap demikian ketika “masalah” terjadi. Rupanya dia tetap tenang, mengumpulkan kembali balok-balok Lego yang berceceran, dan mulai membangun lagi alatnya. Tidak tampak dia celingukan mencari “dukungan mental” dari kami. Masalah ia hadapi dan tangani sendiri. Alat terangkai kembali, dan dia mengambil kesempatan untuk mengujicoba lagi alatnya.

Bikin lagi
Alat dijalankan, dinilai. Dia menunggu pengumuman lomba dengan santai, mendapati bahwa dia tidak termasuk di jajaran pemenang, pulang tetap dengan hati riang.
=====
Hidup tak selalu berjalan sebagaimana direncanakan. Masalah bisa terjadi dari arah yang tidak kita sangka dan antisipasi. Hal yang penting setelah masalah terjadi adalah bagaimana kita bisa bangkit lagi.
Kami senang melihatnya bisa tenang menghadapi “masalah besar” saat lomba tengah berlangsung. Alat dibangun lagi, malah dengan sedikit improvisasi.
Setiap masalah adalah latihan Nak, latihan untuk menghadapi masalah yang mungkin lebih besar lagi. Mungkin tidak selalu kita bisa menghadapinya dengan tenang. Tak apa gelisah sebentar, menenangkan diri juga bagian dari pelajaran hidup.
Selamat menjalani petualangan selanjutnya.
Belajar Tidak Mengantri
Saat saya kecil dulu, saya banyak diajari untuk mengantri. Tidak hanya oleh orang tua, tapi juga oleh guru di sekolah. Tidak hanya sekali, berkali-kali. Tidak hanya lewat perkataan, tapi juga lewat teladan yang mereka berikan. Semuanya saya ingat betul, dan saya coba selalu terapkan hingga saat ini.
Namun saya juga masih ingat betul, kapan saya belajar untuk tidak mengantri.
Suatu kali saat saya masih duduk di bangku SD, saya diminta ibu saya untuk membeli sesuatu di pasar, di warung langganan ibu saya. Saya sudah sering diajak ibu berbelanja di pasar, termasuk di warung itu. Warung Bu Rakih namanya. Meski sering diajak ke situ, saya biasanya tidak memperhatikan proses ibu menawar dan membeli, saya lebih suka mengamati barang-barang dagangan yang ada. Nah, saat saya diminta ibu membeli sesuatu di situ, itu jadi pengalaman pertama saya bertransaksi di pasar.
Warung Bu Rakih ramai, seperti biasanya. Saya mendekat ke Bu Rakih dan pegawai-pegawainya, menunggu giliran saya untuk menyampaikan barang apa yang mau saya beli. Saya sudah mengamati siapa-siapa saja yang datang sebelum saya, dan saya sabar menunggu giliran saya. Singkat kata, saya mencoba mengantri. Para calon pembeli meneriakkan pesanannya. Hingga saat semua orang yang datang sebelum saya selesai dilayani, saya belum juga mendapat kesempatan menyampaikan pesanan saya. Orang-orang itu langsung saja meneriakkan pesanannya, dan mereka semua dilayani. Saya marah, saya bingung. Mengapa mereka tidak mengantri? Hingga suatu ketika Bu Rakih menanyai saya, apa yang mau saya beli.
Saya hingga saat itu banyak diajari mengantri, namun hari itu saya belajar tentang tidak mengantri.
Obrolan Anak Lelaki dan Ayahnya
Hubungan antara anak lelaki dan ayahnya tidak jarang seperti hubungan antara dua bocah lelaki, hanya saja yang satunya punya trik dan pengalaman lebih banyak. Kadar keisengan antara keduanya tak jauh beda, hal-hal yang diminatinya juga mirip-mirip saja, misalnya seputar mainan.
Baru saja saya ngobrol panjang dengan anak lanang saya. Bermula dari soal kerennya Lego Bionicle, berlanjut dengan soal Kungfu Panda 3 dan cerita dia soal pertemanan di sekolahnya, dan diakhiri dengan doa Bapa Kami bersama #eh 🙂
Sebelum tidur dia bilang, “Asyik ya ngobrol kayak gini sama Papi..”
Saya juga bilang, “Memang asyik..”
Dia bilang, “Tapi kalo besok kayaknya Papi gak bisa, kan Papi kerja..” (belakangan ini memang saya punya pekerjaan yang harus dikerjakan sampai malam)
Dia lanjutkan, “Mungkin bisa lagi minggu depan.” (maksudnya Sabtu – Minggu depan)
Saya jawab, “Ok!”
Obrolan seperti tadi memang bukan kejadian satu-satunya. Juga bukan kejadian yang jarang terjadi. Tapi komentar dia soal asyik itu memang baru sekali ini terucap. Dan itu menyentuh hati saya #eh
Kita akan ngobrol banyak lagi anakku. Masih ada banyak hal yang kita bisa obrolkan bersama. Soal mainan, soal buku (kalo ini sih kesukaan Papi ya..), soal keisengan-keisengan yang mungkin bisa kita lakukan bersama (dan mungkin bikin Mami ngomel-ngomel, hehehe), dan banyaaaaak soal lain, termasuk soal cewek (suatu hari nanti ya…).
Sekarang tidurlah dahulu, keasyikan sehari di sekolah sudah menantimu esok hari.
Kisah Sepeda Motor
Kemarin odometer sepeda motor yang saya gunakan hampir balik ke angka awal 000000 (malamnya akhirnya tembus sih).
Saya tidak tahu seberapa banyak atau sering hal ini terjadi pada sepeda motor yang digunakan orang lain. Tapi bagi saya, ini baru pertama kalinya.
Sepeda motor itu buatan/rakitan tahun 1993. Mulai saya gunakan ketika menjelang kuliah tahun 1997 (jadi ketahuan kalo sudah tua ya, hehehe). Ayah saya membelinya dari pemilik pertamanya, mantan Ketua RT tempat dulu kami tinggal. Jadi, andaikan sepeda motor itu anak yang lahir tahun 1993, sekarang mungkin ia sudah lulus kuliah.
Sudah sejak beberapa tahun yang lalu, setiap kali saya membawanya untuk service rutin saya mendapati sepeda motor itu kendaraan tertua di bengkel service.
Banyak peristiwa yang saya alami bersama sepeda motor itu. Perjalanan kos-kampus, perjalanan Solo-Yogya berulang kali dilakoni bersamanya. Bertahun-tahun membonceng pacar (yang lalu jadi istri), yang kemudian juga memboncengkan anak, semua bersama sepeda motor itu. Perjuangan saya mencari rejeki, juga banyak dibantu oleh sepeda motor itu, bahkan hingga saat ini.
Sepeda motor itu adalah salah satu modal awal penting dari orang tua saya untuk membantu saya menjalani hidup dewasa saya.
Semoga ia tetap setia menemani saya dalam tahun-tahun mendatang.
Belajar soal adab dari Pak Majid
Dalam sebuah pertemuan koordinasi petugas loket pendaftaran dan kasir puskesmas yang dipimpin Pak Majid, kepala puskesmas, siang tadi, saya mencuri dengar pembicaraan yang menarik.
Ada banyak kasus di puskesmas, saat pelajar mendaftarkan diri ke loket pendaftaran puskesmas untuk memperoleh layanan kesehatan, mereka diminta oleh petugas loket untuk menunjukkan surat pengantar dari sekolah, untuk memastikan bahwa mereka adalah benar pelajar (sekalipun mereka ke puskesmas masih mengenakan seragam sekolah). Para petugas loket berdalih, ini agar tarif jasa kesehatan khusus pelajar tidak disalahgunakan.
Pak Majid menanggapinya dengan sangat menarik. Ini yang beliau katakan:
“Apakah kita sudah kalah beradab dengan kondektur bus kota? Pernahkah kondektur bus meminta surat pengantar dari sekolah pada para pelajar yang jadi penumpang bus? Bagaimana jika putra-putri bapak ibu yang masih bersekolah diminta surat seperti itu ketika mau naik bus?”
Pak Tarno
Ada seorang tukang langganan kami sekeluarga. Pak Tarno namanya. Berusia paruh baya, anaknya sudah mapan semua. Meski demikian, Pak Tarno menolak tinggal duduk diam di rumah menimang cucu. Pak Tarno selalu aktif bekerja memperbaiki rumah orang, sesuai pesanan. Tinggal di Solo, tapi tidak jarang kami minta ke Yogya jika ada yang perlu diperbaiki di rumah kami di Yogya.
Bermula dari kebutuhan kami untuk memperbaiki beberapa bagian rumah agar rapi dan tidak berbahaya bagi anak kami yang masih kecil, saya dikenalkan oleh Pak Tarno oleh mertua. Sudah beberapa waktu Pak Tarno jadi andalan perbaikan rumah di rumah mertua. Semenjak itu, setiap ada kebutuhan perbaikan rumah, mulai dari pintu yang rusak, kusen yang keropos, pemasangan keramik, hingga saluran air yang bermasalah, kami selalu menggunakan jasa Pak Tarno. Di mata kami, Pak Tarno tukang yang hebat. Hasil kerjanya rapi, penuh akal dalam menyelesaikan permasalahan yang ada, selalu berusaha menggunakan apapun yang ada agar biaya bahan optimal, bekerja tanpa banyak cakap.
Tiap kali kami undang ke Yogya, Pak Tarno naik kereta Prameks. Saya jemput dari dan antar ke stasiun. Pak Tarno tidak pernah mau punya handphone, namun Pak Tarno selalu datang pada jam yang sama, jadi saya sudah hafal jam berapa mesti menjemputnya di stasiun.
Anak kami selalu senang saat bertemu Pak Tarno. Pak Tarno dipanggilnya Eyang, “Yang” begitu panggil anak kami. Gerak gerik Pak Tarno saat bekerja tak jarang ditirunya. Pak Tarno selalu tersenyum melihat tingkah polah anak kami.
====================
Hari Kamis minggu yang lalu, Pak Tarno kami minta ke Yogya untuk mengatasi saluran air rumah kami yang bermasalah. Bekerja dari pagi hingga sore, hingga akhirnya saluran air kembali lancar. Sore itu, seperti biasanya Pak Tarno saya antar ke stasiun untuk pulang ke Solo. Di jalan, saat saya boncengkan naik motor, tidak seperti biasanya Pak Tarno menitipkan pesan pada saya agar mengabarkan pada menantunya untuk tidak menjemput ke stasiun (biasanya Pak Tarno diantar-jemput oleh menantunya di stasiun). “Soalnya kalo sore biasanya pada repot Mas. Nanti bilang saja saya mau naik ojek,” pesan Pak Tarno pada saya. Pesan saya kerjakan. Terus terang, saya dan mertua (yang mendengar ini dari saya) merasa agak heran. “Kok tumben,” kata mertua saya waktu itu.
Esoknya, hari Jumat, tepat seminggu yang lalu, pada sore hari istri saya menerima kabar dari ayahnya bahwa Pak Tarno jatuh dari ketinggian hingga tidak sadarkan diri. Informasi lanjutan terus disusulkan. Perkaranya amat sepele. Pak Tarno jatuh dari pohon matoa karena dahannya patah. Dan jatuhnya kepala duluan. Dokter di Rumah Sakit memutuskan untuk mengoperasi. Operasi dilangsungkan, namun Pak Tarno masih belum juga siuman. Ada gerakan-gerakan kecil pada tangan dan kakinya. Ada air mata yang mengalir ketika istri, anak, cucunya berbicara padanya.
Sore ini, istri saya mendapat kabar bahwa Pak Tarno meninggal dunia.
Terimakasih Pak Tarno, untuk semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan pada kami sekeluarga. Hasil karyamu akan terukir abadi di sudut-sudut rumah kecil kami dan juga di hati kami. Selamat jalan.
Andrew Young
Pada suatu tengah malam, setelah iseng-iseng mencoba berbagai saluran siaran TV, saya tertarik pada tayangan Oprah Winfrey Show. Kebetulan saat itu seorang yang bernama Andrew Young menjadi bintang tamunya. Sebelum menonton acara Oprah tersebut, saya belum pernah mendengar dan tahu siapa itu Andrew Young. Ternyata kisah Andrew Young yang disampaikan dalam OWS ini menarik perhatian saya.
Sebagai informasi awal, Andrew Young adalah mantan pembantu/ajudan utama dalam tim kampanye John Edwards, saat John Edwards maju berkampanye sebagai bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat pada tahun 2008 yang lalu. John Edwards sendiri, sebelum maju dalam pencalonan presiden AS, adalah seorang senator dari Partai Demokrat.
Lalu apa yang menarik bagi saya?
Andrew Young adalah seorang teman lama John Edwards, mereka sudah berteman selama hampir sekitar 10 tahun, dan ia sangat mendukung ide-ide besar John Edwards untuk Amerika. Itu sebabnya ia mendukung dan bahkan terlibat sebagai staf penting dalam tim kampanye John Edwards. Pada bulan Oktober 2007, di tengah sengitnya persaingan antar kandidat Partai Demokrat – John Edwards, Barack Obama, dan Hillary Clinton, sebuah surat kabar memberitakan kabar tentang dugaan perselingkuhan John Edwards dengan Rielle Hunter, dan Rielle Hunter dikabarkan tengah mengandung anak dari hubungan mereka. Sebagai kandidat kuat pada proses pencalonan internal Partai Demokrat (menjelang akhir tahun 2007 John Edwards bersaing ketat pada posisi 1 dan 2, dengan Barack Obama), tentunya pemberitaan ini berpotensi merugikan John Edwards.
Menurut apa yang disampaikan oleh Andrew Young dalam OWS (ya, tulisan ini didasarkan pada cerita Andrew Young, yang tentu bisa dipandang sebagai kisah subyektif), pada titik itulah John Edwards meminta bantuannya, sebagai teman baik, agar tampil mengaku bahwa Andrew Young-lah ayah dari bayi yang tengah dikandung Rielle Hunter. John Edwards menjanjikan pada Andrew Young bahwa ini hanya untuk sementara, sebagai upaya penyelamatan kampanyenya dan (ini yang lebih ditekankan John Edwards) untuk melindungi istrinya yang tengah menderita kanker payudara (dan diperkirakan tidak akan lama bertahan hidup) dari pemberitaan negatif. John Edwards menjanjikan akan mengaku pada publik apa sebenarnya yang terjadi pada suatu saat nanti. Andrew Young hanya memiliki waktu sekitar 12 jam (saya lupa mengapa 12 jam) untuk memutuskan sesuatu atas permintaan bantuan ini. Ia bercerita pada istrinya tentang hal ini. Sedari awal Andrew Young cenderung bersedia membantu John Edwards, di samping demi kebaikan Elizabeth Edwards (istri John Edwards), juga agar ide-ide besar John Edwards untuk Amerika dapat terus diperjuangkan (dengan harapan John Edwards berhasil menjadi presiden Amerika). Entah bagaimana, istri Andrew Young akhirnya setuju. Maka tampillah Andrew Young ke publik, mengaku bahwa ialah ayah dari bayi yang tengah dikandung Rielle Hunter.
Tentu saja, pengakuan Andrew Young tersebut bukannya tanpa efek apa-apa terhadap diri dan keluarganya. Ia menanggung segala penghinaan dan aib yang ditimpakan kepadanya. Ia bahkan dijauhi oleh sesama rekannya dalam tim kampanye John Edwards. Dan semua itu demi John Edwards serta istrinya. Elizabeth Edwards, yang tidak mengetahui soal kesepakatan tersebut, tentu juga berpandangan dan berkomentar negatif pada Andrew Young, seseorang yang dianggapnya adalah teman baik suaminya. Andrew Young dan keluarganya hidup berpindah-pindah di rumah sewaan, bersama Rielle Hunter (dan bayinya). Sebuah kehidupan yang jauh dari nyaman tentunya, untuk tidak menyebutnya bagai hidup di neraka.
Titik balik dalam diri Andrew Young mulai muncul ketika ia melihat bahwa setelah pengakuan itu, semakin lama John Edwards tampak semakin menjauhi dirinya. Ditambah lagi kenyataan bahwa John Edwards sepertinya tidak menaruh perhatian pada Rielle Hunter dan bayinya. Hingga akhirnya Andrew Young mulai membuka kisah sebenarnya ke publik, dan pada Februari 2010 ia menerbitkan sebuah buku yang menceritakan secara detail kisah ini.
Selama saya mengikuti tayangan itu, saya tak henti-hentinya merasa heran, mengapa Andrew Young (dan istrinya) bisa bersedia berkorban sejauh itu? Terlebih dalam wawancara di OWS, Andrew Young menjelaskan bahwa sedari awal ia tahu ini adalah hal yang salah dan akan sangat merugikan diri dan keluarganya. Namun ia selalu menekankan bahwa ini ia tempuh demi Elizabeth Edwards dan ide-ide besar John Edwards untuk Amerika. Menanggapi pernyataan ini, sebuah pertanyaan menohok dilontarkan Oprah, “apakah seorang yang telah berbuat sesuatu yang salah, dan kemudian meminta sahabatnya berkorban untuknya, untuk menutupinya, masih layak menjabat sebagai presiden Amerika, dengan ide-ide besarnya?” Tak ada jawaban jelas dari Andrew Young soal ini.
Banyak pemikiran yang berkelebat di benak saya selepas mengikuti tayangan itu. Apakah dunia politik memang sekotor itu? Mengutamakan pencitraan diri di atas segalanya, bahkan di atas kebenaran, dengan mengatasnamakan ide-ide besar dan mulia yang sedang diusung? Tidak jarang saya melihat atau setidaknya mendengar seseorang mengorbankan nilai-nilai dan kebenaran yang diyakininya demi lancarnya karir yang sedang ditempuh, namun saya tidak menduga ada yang bersedia mengorbankan sebegitu banyak nilai hidup. Saya naif? Mungkin. Tapi kisah ini mengantar saya untuk bertanya juga pada diri saya sendiri, adakah nilai-nilai yang sedang saya korbankan demi kegiatan-kegiatan saya saat ini? Kisah ini juga mungkin akan mendorong kita untuk lebih kritis pada tokoh-tokoh publik, yaitu mereka yang memiliki tekanan lebih besar untuk menampilkan citra yang benar-benar baik, tanpa cela. Tanpa niat melakukan generalisasi, kenyataannya apa yang tampak baik, bisa jadi sebenarnya tidak demikian.
Menarik pula jika kita mencoba berolah pikir. Apa yang akan kita lakukan jika kita menjadi John Edwards, yang menghadapi ancaman kehancuran karir politik? Apa yang akan kita lakukan jika kita menjadi Andrew Young, yang setelah bertahun-tahun berjuang mendukung seseorang dengan ide-ide yang ia yakini benar dan baik untuk bangsanya mendapati orang tersebut melakukan hal yang sebenarnya tercela? Bagaimana pula jika kita menjadi istri Andrew Young, atau Elizabeth Edwards? Bagaimana jika Anda menjadi masyarakat biasa, pendukung John Edwards? Apa yang akan Anda katakan atau lakukan?
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Catatan: Tulisan ini dibuat dengan dasar pernyataan-pernyataan Andrew Young dan istrinya dalam tayangan Oprah Winfrey Show dan beberapa artikel Wikipedia. Penulis sudah berupaya secermat mungkin mencantumkan fakta yang terkait. Jika ada kesalahan tulis atau kutip dalam penyampaian fakta, silakan sampaikan koreksi Anda.