Archive

Archive for the ‘kehidupan’ Category

Menemani

Semenjak Anak Lanang masuk usia remaja, kemampuan dia untuk berdiskusi (baca: ngeyel, berdebat, membantah) meningkat pesat. Sebagian terkait dengan hal-hal yang baru, karena pengetahuannya dan keingintahuannya meningkat. Dia mulai belajar memberikan penilaian atas banyak hal (dan banyak penilaian dia atas hal-hal itu yang menarik dan di luar dugaan saya). Namun sebagian lainnya terkait dengan hal-hal yang sebenarnya yang sudah ia ketahui tapi tak kunjung ia lakukan dengan aneka alasan yang makin kreatif ia ciptakan. Hal-hal yang sebenarnya masalah “sederhana”, semacam soal pengaturan waktu, kerapian, ketertiban mengerjakan tugas.

Saya dan istri memahami betul memang ini adalah masa saat ia beralih dari pribadi anak yang hampir sepenuhnya diatur aktivitasnya menjadi pribadi dewasa yang mulai mandiri dalam menentukan jalan pemikiran dan aktivitasnya. Dalam masa peralihan ini tentu ada proses belajar untuk menilai situasi, mengatur prioritas, membuat agar pemahaman dan perilaku sejalan. Kami sendiri pernah menjadi anak yang beralih menjadi orang dewasa dengan segala gejolak dalam masa peralihan itu.

Namun yang bagi saya menarik dan menantang adalah menemani dia dalam semua proses belajar itu. Banyak hal yang rasanya harus saya ingatkan berulang kali, dengan aneka cara, untuk memastikan ia paham sepenuhnya dan mampu menimbang dan melakukan aneka hal dengan prinsip-prinsip yang benar.

Di tengah rasa lelah dan jenuh yang kadang muncul, kemarin saya terpikir lagi: jika bukan kami orang tuanya yang memainkan peran sebagai “rekan diskusi” Anak Lanang, siapa lagi? Maka yang kemudian timbul adalah rasa syukur bahwa kami memiliki kesempatan ini, kesempatan untuk menemani dia dalam perjalanan dia untuk tumbuh menjadi dewasa. Kesempatan yang mungkin tidak semua orang tua memilikinya.

Cuti Seminggu

“Maaf ya Pak, minggu depan saya cuti seminggu. Jadi berkas-berkas Bapak baru bisa saya urus nanti setelah saya selesai cuti. Maaf jika jadi tertunda.” kata Mbak Admin di sebuah kantor tempat saya menyelesaikan sebuah proyek.

Saya mendapat permintaan maaf itu hari Jumat sore hampir dua minggu lalu. Beberapa waktu sebelumnya, saya sudah menyelesaikan sebuah pekerjaan pembuatan aplikasi. Tinggal proses administrasi serah terima agar pembayaran bisa dicairkan. Dengan apa yang disampaikan Mbak Admin tersebut, artinya penerimaan pembayaran akan tertunda. Ya mau bagaimana lagi.

Hari ini akhirnya proses administrasi serah terima saya tuntaskan. Waktu bertemu dengan si Mbak Admin tadi saya iseng bertanya, “Kemarin cuti seminggu pergi ke mana Mbak?”

Jawabannya agak mengejutkan saya.

“Saya nggak pergi ke mana-mana kok Pak. Saya cuti seminggu karena anak saya yang TK pengen diantar jemput sekolah oleh ibunya.”

“Setelah beberapa hari saya antar jemput sekolah, anak saya bilang, ‘Wah, seru diantar jemput Ibuk’.”

Mendadak saya merasa lebih rela menghadapi mundurnya pembayaran pekerjaan saya.

=======

Di balik wajah pekerja kantor dan sosok profesional yang sering kita jumpai setiap hari dalam pekerjaan, ada sosok lain di dalam diri mereka sebagai suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, adik, atau sosok lain apapun dalam keluarganya.

Obrolan ringan tadi mengingatkan saya betapa berharganya waktu untuk keluarga. Saya bersyukur saya dan istri memilih menjalani pekerjaan kami seperti sekarang ini, yang memungkinkan kami bisa mengatur waktu lebih fleksibel untuk keperluan keluarga. Tentu ada harga yang harus kami bayar untuk itu. Tapi rasanya sepadan.

Categories: kehidupan, keluarga Tags: ,

Tante Djie Bik

Hari Sabtu lalu saya mengantar Tante Untari berkunjung ke sebuah panti wredha di Yogya. Ada sosok yang sama2 kami kenal di sana. Kami mau menjumpai Ibu Tan Djie Bik.

Ibu Tan Djie Bik – saya biasa mengenalnya sebagai Tante Djie Bik – adalah salah satu guru Sekolah Minggu (SM) waktu saya kecil dahulu. Beliau dulu juga adalah guru SM Tante Untari (adik bungsu ayah saya) dan bahkan juga Tante Kris (adik ayah saya persis). Tante Djie Bik aktif sebagai guru SM dan aktif dalam berbagai kegiatan di gereja kami selama berpuluh tahun.

Tante Djie Bik tidak berkeluarga, dan di usia senjanya ia memutuskan untuk tinggal di panti wredha sejak dua tahun lalu. Ia kini berusia 89 tahun, dengan pikiran yang masih aktif dan ingatan yang masih tajam. Ia merasa damai dan sejahtera tinggal di panti wredha tersebut.

Tante Djie Bik, sosok yang menjadi inspirasi tentang hidup yang lurus dan setia dalam melayani Tuhan.

Bersama Tante Djie Bik

Gatal

Beberapa hari ini saya kena penyakit gatal, kena gigitan serangga. Gatal adalah jenis sakit yang amat menyebalkan. Pengennya digaruk karena akan terasa nikmat, tapi saya juga tahu jika digaruk bakal membuat kulit yang gatal semakin parah kondisinya, salah-salah malah makin melebar area gatalnya. Saya mesti kuat menahan diri agar tidak menuruti hasrat kenikmatan sesaat untuk menggaruk.

===

Tidak jarang kita menghadapi situasi yang membuat kita “gatal”.  Di saat berkendara nyaman di jalan, mendadak dipepet kendaraan lain, muncul rasa “gatal” untuk balas memepet. Ketika di medsos ada yang merendahkan nilai-nilai yang kita anggap baik dan mulia, muncul rasa “gatal” untuk membalas. Dan mungkin ada berjuta situasi lain lagi yang membuat hati terasa “gatal” dan menguatkan niat untuk segera “menggaruk”.

Segera balik membalas jelas menjanjikan rasa nyaman instan, rasa lega, rasa menang, rasa puas. Namun apakah itu membuat situasi lebih baik? Bagaimana jika orang yang kita balas pepet di jalan tambah naik emosinya dan kemudian semuanya berakhir dengan tabrakan di jalan? Masih merasa puas? Bagaimana jika balasan kita di medsos berbuah kericuhan besar? Masih merasa menang?

Tidak setiap rasa gatal mesti ditanggapi dengan garukan. Ada kalanya menguatkan hati menahan rasa gatal sambil mencari cara lain untuk mengurai persoalan membuahkan kondisi yang lebih baik, meski mungkin tidak diperoleh seketika.

===

Ada waktu di mana rasa gatal seolah tak tertahankan, dan jari jemari sudah mulai bergerak untuk mulai menggaruk. Niat menahan diri mesti diperkuat. Kini, rasa gatal akibat gigitan serangga itu sudah mereda, setelah rutin dioles salep selama beberapa hari. Perbaikan jelas tampak, walau terasa lambat.

AARRRRGGGHHHH.. GATAL..

Categories: kehidupan Tags: ,

Bangkit

Siang tadi, anak lanang mengikuti sebuah lomba. Lombanya adalah menyusun balok Lego menjadi suatu bentuk alat untuk memenuhi misi tertentu. Kali ini misinya adalah untuk membawa bola ping-pong sebanyak mungkin dan mampu merobohkan sejumlah tiang yang tersedia. Alat dirancang tiap peserta, bentuk bebas, dengan bimbingan pengajar. Hasil lomba penting, namun yang lebih penting adalah proses dan pengalaman yang dijalani saat persiapan dan juga saat jalannya perlombaan.

Tiap peserta diberi waktu untuk membangun alat sesuai rancangan mereka, dan diberi kesempatan sebanyak tiga kali untuk menguji kerjanya alat, sebelum nantinya diberi dua kali kesempatan untuk menjalankan alat sambil dinilai. Pada kali pertama ujicoba, alat bikinan anak lanang berfungsi baik, namun masih tersedia ruang untuk perbaikan. Demikian pula pada ujicoba kedua kali. Namun, saat mengusung alat setelah ujicoba kedua, sepertinya dia membawanya kurang berhati-hati, alat jatuh dan hancur berkeping-keping.

Bikin alat

Hancur

Kami selaku orang tua mengamati dari jauh dari awal, dan tetap demikian ketika “masalah” terjadi. Rupanya dia tetap tenang, mengumpulkan kembali balok-balok Lego yang berceceran, dan mulai membangun lagi alatnya. Tidak tampak dia celingukan mencari “dukungan mental” dari kami. Masalah ia hadapi dan tangani sendiri. Alat terangkai kembali, dan dia mengambil kesempatan untuk mengujicoba lagi alatnya.

Bikin lagi

Alat dijalankan, dinilai. Dia menunggu pengumuman lomba dengan santai, mendapati bahwa dia tidak termasuk di jajaran pemenang, pulang tetap dengan hati riang.

=====

Hidup tak selalu berjalan sebagaimana direncanakan. Masalah bisa terjadi dari arah yang tidak kita sangka dan antisipasi. Hal yang penting setelah masalah terjadi adalah bagaimana kita bisa bangkit lagi.

Kami senang melihatnya bisa tenang menghadapi “masalah besar” saat lomba tengah berlangsung. Alat dibangun lagi, malah dengan sedikit improvisasi.

Setiap masalah adalah latihan Nak, latihan untuk menghadapi masalah yang mungkin lebih besar lagi. Mungkin tidak selalu kita bisa menghadapinya dengan tenang. Tak apa gelisah sebentar, menenangkan diri juga bagian dari pelajaran hidup.

Selamat menjalani petualangan selanjutnya.

Categories: anak, kehidupan Tags: , , ,

Belajar Tidak Mengantri

Saat saya kecil dulu, saya banyak diajari untuk mengantri. Tidak hanya oleh orang tua, tapi juga oleh guru di sekolah. Tidak hanya sekali, berkali-kali. Tidak hanya lewat perkataan, tapi juga lewat teladan yang mereka berikan. Semuanya saya ingat betul, dan saya coba selalu terapkan hingga saat ini.

Namun saya juga masih ingat betul, kapan saya belajar untuk tidak mengantri.

Suatu kali saat saya masih duduk di bangku SD, saya diminta ibu saya untuk membeli sesuatu di pasar, di warung langganan ibu saya. Saya sudah sering diajak ibu berbelanja di pasar, termasuk di warung itu. Warung Bu Rakih namanya. Meski sering diajak ke situ, saya biasanya tidak memperhatikan proses ibu menawar dan membeli, saya lebih suka mengamati barang-barang dagangan yang ada. Nah, saat saya diminta ibu membeli sesuatu di situ, itu jadi pengalaman pertama saya bertransaksi di pasar.

Warung Bu Rakih ramai, seperti biasanya. Saya mendekat ke Bu Rakih dan pegawai-pegawainya, menunggu giliran saya untuk menyampaikan barang apa yang mau saya beli. Saya sudah mengamati siapa-siapa saja yang datang sebelum saya, dan saya sabar menunggu giliran saya. Singkat kata, saya mencoba mengantri. Para calon pembeli meneriakkan pesanannya. Hingga saat semua orang yang datang sebelum saya selesai dilayani, saya belum juga mendapat kesempatan menyampaikan pesanan saya. Orang-orang itu langsung saja meneriakkan pesanannya, dan mereka semua dilayani. Saya marah, saya bingung. Mengapa mereka tidak mengantri? Hingga suatu ketika Bu Rakih menanyai saya, apa yang mau saya beli.

Saya hingga saat itu banyak diajari mengantri, namun hari itu saya belajar tentang tidak mengantri.

Categories: budaya, kehidupan Tags: , ,

Obrolan Anak Lelaki dan Ayahnya

Hubungan antara anak lelaki dan ayahnya tidak jarang seperti hubungan antara dua bocah lelaki, hanya saja yang satunya punya trik dan pengalaman lebih banyak. Kadar keisengan antara keduanya tak jauh beda, hal-hal yang diminatinya juga mirip-mirip saja, misalnya seputar mainan.

Baru saja saya ngobrol panjang dengan anak lanang saya. Bermula dari soal kerennya Lego Bionicle, berlanjut dengan soal Kungfu Panda 3 dan cerita dia soal pertemanan di sekolahnya, dan diakhiri dengan doa Bapa Kami bersama #eh 🙂

Sebelum tidur dia bilang, “Asyik ya ngobrol kayak gini sama Papi..”

Saya juga bilang, “Memang asyik..”

Dia bilang, “Tapi kalo besok kayaknya Papi gak bisa, kan Papi kerja..” (belakangan ini memang saya punya pekerjaan yang harus dikerjakan sampai malam)

Dia lanjutkan, “Mungkin bisa lagi minggu depan.” (maksudnya Sabtu – Minggu depan)

Saya jawab, “Ok!”

Obrolan seperti tadi memang bukan kejadian satu-satunya. Juga bukan kejadian yang jarang terjadi. Tapi komentar dia soal asyik itu memang baru sekali ini terucap. Dan itu menyentuh hati saya #eh

Kita akan ngobrol banyak lagi anakku. Masih ada banyak hal yang kita bisa obrolkan bersama. Soal mainan, soal buku (kalo ini sih kesukaan Papi ya..), soal keisengan-keisengan yang mungkin bisa kita lakukan bersama (dan mungkin bikin Mami ngomel-ngomel, hehehe), dan banyaaaaak soal lain, termasuk soal cewek (suatu hari nanti ya…).

Sekarang tidurlah dahulu, keasyikan sehari di sekolah sudah menantimu esok hari.

Categories: anak, kehidupan, keluarga Tags: ,

Kisah Sepeda Motor

odometer

Kemarin odometer sepeda motor yang saya gunakan hampir balik ke angka awal 000000 (malamnya akhirnya tembus sih). 

Saya tidak tahu seberapa banyak atau sering hal ini terjadi pada sepeda motor yang digunakan orang lain. Tapi bagi saya, ini baru pertama kalinya.

Sepeda motor itu buatan/rakitan tahun 1993. Mulai saya gunakan ketika menjelang kuliah tahun 1997 (jadi ketahuan kalo sudah tua ya, hehehe). Ayah saya membelinya dari pemilik pertamanya, mantan Ketua RT tempat dulu kami tinggal. Jadi, andaikan sepeda motor itu anak yang lahir tahun 1993, sekarang mungkin ia sudah lulus kuliah.

Sudah sejak beberapa tahun yang lalu, setiap kali saya membawanya untuk service rutin saya mendapati sepeda motor itu kendaraan tertua di bengkel service.

Banyak peristiwa yang saya alami bersama sepeda motor itu. Perjalanan kos-kampus, perjalanan Solo-Yogya berulang kali dilakoni bersamanya. Bertahun-tahun membonceng pacar (yang lalu jadi istri), yang kemudian juga memboncengkan anak, semua bersama sepeda motor itu. Perjuangan saya mencari rejeki, juga banyak dibantu oleh sepeda motor itu, bahkan hingga saat ini.

Sepeda motor itu adalah salah satu modal awal penting dari orang tua saya untuk membantu saya menjalani hidup dewasa saya.

Semoga ia tetap setia menemani saya dalam tahun-tahun mendatang.

Categories: kehidupan Tags: ,

Apakah kita semakin tidak sabaran?

Sir Alex Ferguson, mengawali kiprahnya di Manchester United dengan kekalahan 0-2. Jadi manajer sejak 1986, tapi baru juara pada musim 1992-1993. Bagi para manajer zaman sekarang, itu kesempatan yang amat langka. Para “analis” akan mendapatkan mangsa empuknya pada si sosok manajer yang tak “berprestasi” dalam rentang waktu selama itu, pada klub yang sebesar itu (MU sudah pernah menjuarai berbagai kompetisi pada tahun-tahun sebelumnya, meski tak semengkilap pada era SAF).

9 Agustus 1965, dalam keadaan serba tak siap, Singapura berpisah dengan Malaysia. Lee Kuan Yew, yang hingga saat itu amat meyakini persatuan dengan Malaysia adalah jalan terbaik bagi masa depan Singapura, amat terpukul. Dikisahkan ia menyepi hingga enam minggu sebelum melakukan langkah apapun. Sungguh tak terbayangkan kondisi semacam itu terjadi di zaman sekarang. Demo pasti sudah terjadi di mana-mana. “Ada di mana pemerintah?”, mungkin begitu kira-kira isi demonya.

SAF dan LKY jelas bukan sosok yang sempurna, namun pada akhirnya ada banyak prestasi yang mereka catatkan dalam sejarah. Catatan prestasi istimewa itu tak mungkin terwujud tanpa “kesabaran” orang-orang di sekitarnya. “Kesabaran” untuk menunggu, sekaligus “memberikan toleransi” pada sisi-sisi negatif diri mereka.

Mungkin ada yang mengira tulisan ini untuk mengomentari keriuhan politik Indonesia akhir-akhir ini. Silakan saja.

Tapi ada banyak hal lain yang mungkin bisa ikut kita cermati juga.

Di hari-hari ini, orang bisa memutuskan hal besar hanya karena satu atau dua hal kecil. Memutuskan hubungan dengan pasangan hanya karena satu dua perselisihan. Marah besar pada anak hanya karena satu dua nilai ulangan yang kurang memuaskan. Memecat karyawan hanya karena satu dua penilaian kinerja yang mungkin hanya sedikit di bawah standar. Bahkan, mencelakai atau membunuh orang hanya karena satu dua masalah yang amat sangat sepele.

Apakah sungguh kita semakin tidak sabaran?

Belajar soal adab dari Pak Majid

Dalam sebuah pertemuan koordinasi petugas loket pendaftaran dan kasir puskesmas yang dipimpin Pak Majid, kepala puskesmas, siang tadi, saya mencuri dengar pembicaraan yang menarik.

Ada banyak kasus di puskesmas, saat pelajar mendaftarkan diri ke loket pendaftaran puskesmas untuk memperoleh layanan kesehatan, mereka diminta oleh petugas loket untuk menunjukkan surat pengantar dari sekolah, untuk memastikan bahwa mereka adalah benar pelajar (sekalipun mereka ke puskesmas masih mengenakan seragam sekolah). Para petugas loket berdalih, ini agar tarif jasa kesehatan khusus pelajar tidak disalahgunakan.

Pak Majid menanggapinya dengan sangat menarik. Ini yang beliau katakan:
“Apakah kita sudah kalah beradab dengan kondektur bus kota? Pernahkah kondektur bus meminta surat pengantar dari sekolah pada para pelajar yang jadi penumpang bus? Bagaimana jika putra-putri bapak ibu yang masih bersekolah diminta surat seperti itu ketika mau naik bus?”