Archive

Archive for the ‘budaya’ Category

Abonemen Koran

Kemarin saya mengabarkan pada loper koran saya bahwa mulai bulan depan saya berniat menghentikan langganan harian cetak Kompas.

Sulit untuk dijelaskan kapan saya mulai berlangganan Kompas.

Read more…
Categories: bahasa, budaya, buku Tags: , , ,

Kaya Raya

London, 1986.

Serombongan tamu berwajah oriental masuk ke satu hotel yang sangat mewah di London. Mereka terdiri dari tiga orang wanita dewasa dan tiga anak remaja yang saling bersepupu. Semuanya basah kuyup setelah berjalan sekian blok di bawah derasnya hujan. Felicity Leong, salah satu wanita dewasa dalam rombongan itu, sebelumnya memutuskan bahwa adalah sebuah pemborosan bagi mereka untuk menyewa taksi dari Stasiun Piccadilly menuju hotel yang hanya sekian blok saja.

Reginald Ormsby, manajer hotel itu, merasa kesal melihat hotelnya menjadi kotor oleh tamu-tamu yang basah kuyup itu. Ketika Eleanor Young menjelaskan bahwa mereka punya reservasi di hotel itu, Ormsby terkejut. Ia tak menyangka Eleanor Young yang membuat reservasi itu rupanya tamu berdarah China, yang saat ini mengotori hotelnya. Menurut Ormsby, hotel itu terlalu berkelas untuk menerima tamu semacam itu. Ia bersikeras tidak ada informasi reservasi atas nama Eleanor Young.

Rombongan tamu itu merasa bahwa mereka sedang diperlakukan tidak adil oleh si manajer hotel. Melalui telepon umum di seberang hotel, Felicity menghubungi suaminya, Harry, menceritakan kesulitan yang dialaminya. Rupanya Harry pernah main golf bersama si pemilik hotel, bangsawan Inggris tulen yang keluarganya telah memiliki hotel itu sejak berabad silam. Harry berjanji pada istrinya bahwa ia akan mengatasi persoalan itu.

Tak lama setelahnya, Felicity beserta rombongan kembali memasuki hotel. Ia menegaskan bahwa ia telah membuat reservasi dan mereka akan menginap di situ. Sebelum Ormsby sempat mengatakan sesuatu, ia melihat sang pemilik hotel masuk ke hotel. Sang pemilik hotel menjelaskan bahwa kamar untuk tamu-tamu dari Asia itu perlu segera disiapkan. Dan ia memberikan satu informasi tambahan: malam itu juga ia telah menjual hotelnya dengan harga bagus, pada Harry Leong, seorang pengusaha dari Singapura.

======

Beberapa waktu lalu saya membaca novel Crazy Rich Asians, karya Kevin Kwan. Novel itu dibuka dengan kisah seperti saya ceritakan ulang di atas. Novel ini (dan juga novel lanjutannya: China Rich Girlfriend dan Rich People Problems) menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga Cina superkaya dari Singapura. Kisah pembuka novel ini menggambarkan kekhasan orang China kaya: mereka bisa amat pelit di satu hal, tapi amat royal di lain hal.

Kondisi hidup berkelimpahan materi bisa dibilang asing bagi kebanyakan kita, termasuk saya. Bisa memiliki sebuah rumah dan sebuah mobil sudah bisa kita anggap sebagai sebuah hidup yang berkecukupan. Namun rupanya ada sebagian orang yang amat sangat berkelimpahan materi. Mereka amat sangat kaya hingga bisa makan pagi di Singapura, makan siang di Hong Kong, dan makan malam di Bali. Kekayaan mereka memampukan mereka untuk membuat properti keluarga yang mereka miliki tidak nampak di Google Maps. Mereka cukup kaya untuk bisa membuat editor majalah gosip bersedia membatalkan pemuatan berita gosip atas skandal sanak keluarga mereka.

Novel ini menceritakan juga bagaimana hubungan sosial antar orang kaya terbentuk dan dijaga, bagaimana mereka memilih besan dan para menantu, dan juga bagaimana orang-orang kaya itu menjaga citra diri dan keluarganya.

Sekilas tampak nyaman dan menyenangkan, hidup sebagai orang kaya. Namun memang benar, rumput tetangga tampak lebih hijau. Orang kaya juga tidak lepas dari masalah yang harus diatasinya dari waktu ke waktu. Orang kaya, sebagaimana orang yang tidak kaya, tetap menghadapi masalah yang sama: bagaimana merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Ini disampaikan dengan baik oleh rangkaian novel ini.

Novel ini cocok untuk hiburan ringan, mengisi waktu santai. Tapi hati-hati, sekali mulai membaca, rasanya akan sulit untuk berhenti sebelum novel ini usai, setidaknya itu pengalaman saya.

Novel ini juga sedang difilmkan, dan akan tayang akhir tahun ini.

Belajar Tidak Mengantri

Saat saya kecil dulu, saya banyak diajari untuk mengantri. Tidak hanya oleh orang tua, tapi juga oleh guru di sekolah. Tidak hanya sekali, berkali-kali. Tidak hanya lewat perkataan, tapi juga lewat teladan yang mereka berikan. Semuanya saya ingat betul, dan saya coba selalu terapkan hingga saat ini.

Namun saya juga masih ingat betul, kapan saya belajar untuk tidak mengantri.

Suatu kali saat saya masih duduk di bangku SD, saya diminta ibu saya untuk membeli sesuatu di pasar, di warung langganan ibu saya. Saya sudah sering diajak ibu berbelanja di pasar, termasuk di warung itu. Warung Bu Rakih namanya. Meski sering diajak ke situ, saya biasanya tidak memperhatikan proses ibu menawar dan membeli, saya lebih suka mengamati barang-barang dagangan yang ada. Nah, saat saya diminta ibu membeli sesuatu di situ, itu jadi pengalaman pertama saya bertransaksi di pasar.

Warung Bu Rakih ramai, seperti biasanya. Saya mendekat ke Bu Rakih dan pegawai-pegawainya, menunggu giliran saya untuk menyampaikan barang apa yang mau saya beli. Saya sudah mengamati siapa-siapa saja yang datang sebelum saya, dan saya sabar menunggu giliran saya. Singkat kata, saya mencoba mengantri. Para calon pembeli meneriakkan pesanannya. Hingga saat semua orang yang datang sebelum saya selesai dilayani, saya belum juga mendapat kesempatan menyampaikan pesanan saya. Orang-orang itu langsung saja meneriakkan pesanannya, dan mereka semua dilayani. Saya marah, saya bingung. Mengapa mereka tidak mengantri? Hingga suatu ketika Bu Rakih menanyai saya, apa yang mau saya beli.

Saya hingga saat itu banyak diajari mengantri, namun hari itu saya belajar tentang tidak mengantri.

Categories: budaya, kehidupan Tags: , ,

Museum Sangiran

Baru sekali kemarin itu saya berkunjung ke Museum Sangiran. Dan saya terkesan.

Sejauh pengalaman saya mengunjungi museum di Indonesia (yang belum bisa dibilang banyak), Museum Sangiran adalah salah satu yang terbaik. Koleksi dan informasi yang ditampilkan banyak dan ditampilkan secara cukup menarik, terawat cukup baik (masih relatif baru juga sih), dan biaya masuk (amat) murah (lima ribu rupiah per orang).

Saya juga baru mengerti jika ternyata Museum Sangiran terdiri dari lima museum klaster yang letaknya saling terpisah cukup jauh. Museum-museum klaster – setidaknya empat di antaranya – terletak cukup terpencil di tengah desa, dan dicapai dengan melalui jalan desa yang sebagiannya hanya pas untuk dilalui satu mobil. Meski demikian, bangunan museum bagus dan berAC. Jarak antar museum terpisah sekitar 3-10 km. Petunjuk jalan menuju tiap lokasi klaster tersedia cukup jelas, baik arah maupun jaraknya.

Lima klaster itu adalah:

1. Museum Klaster Krikilan
Ini adalah yang terbesar di antara lima klaster. Menurut saya, Klaster Krikilan ini semacam “rangkuman” dari klaster-klaster lainnya. Biasanya orang berkunjung hanya ke Klaster Krikilan, dan menurut saya itu keputusan yang kurang tepat 🙂

2. Museum Klaster Bukuran
Museum Klaster Bukuran menyajikan informasi yang cukup mendetail tentang sosok Homo Erectus dan tentang asal muasal kehidupan. Desain interiornya modern.

3. Museum Klaster Manyarejo

Museum Klaster Manyarejo menyajikan informasi tentang proses ekskavasi fosil dan peran masyarakat Sangiran dalam proses ekskavasi. Ditunjukkan pula peran ilmu paleontologi, arkeologi, dan geologi di dalamnya. Di sini ada display lokasi ekskavasi tempat fosil ditemukan. Dari lokasi parkir kendaraan, untuk mencapai lokasi museum, kita harus menaiki sejumlah undak-undakan. Siapkan stamina 🙂

4. Museum Klaster Ngebung
Museum Klaster Ngebung menyajikan informasi tentang tokoh-tokoh yang berperan dalam penemuan, penelitian, dan diskusi (juga debat) soal fosil-fosil yang banyak ditemukan di Sangiran. Ada banyak tokoh dari luar Indonesia, namun banyak pula tokoh Indonesia.

5. Museum Klaster Dayu

Museum Klaster Dayu menyajikan secara nyata lapisan-lapisan tanah Sangiran. Kompleks Museum Klaster Dayu dirancang menurun, membawa pengunjung menyusuri lapisan-lapisan tanah, dengan banyak informasi ditampilkan pada tiap bagiannya. Di dalam bangunan museum ditampilkan informasi tentang budaya manusia purba. Sama seperti di Museum Klaster Manyarejo, pengunjung perlu memiliki stamina yang cukup untuk menyusuri seluruh bagian museum.

Secara umum, kelima klaster mengandung informasi yang padat, sehingga idealnya pengunjung punya waktu yang cukup untuk menyerap dan mencerna semua informasi yang tersedia. Informasi ditampilkan dalam banyak ragam cara yang menarik: diorama, replika, grafik, teks, media interaktif seperti permainan komputer dan juga video/film.

Menurut saya ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan agar Museum Sangiran menjadi lebih baik lagi, di antaranya:

  • Pencahayaan dalam ruang perlu dibuat lebih terang, agar seluruh display tampak jelas. Dalam kunjungan saya kemarin, ruangan minim cahaya, dengan tiap display diberi lampu spot yang menerangi display secara kurang merata, menyulitkan pembacaan pada bagian-bagian tertentu.
  • Display informasi sebagian besar masih berupa teks, termasuk yang dalam bentuk media interaktif. Ini membuat pengunjung harus banyak sekali membaca. Seandainya sebagian informasi ditampilkan dalam bentuk selain teks, informasi mungkin akan lebih mudah ditangkap oleh pengunjung. Selain itu, tampilan museum bisa jadi lebih menarik, karena tidak melulu dihiasi oleh teks.
  • Akan baik seandainya pengelola menyediakan buku-buku yang berisikan informasi yang disajikan di museum. Tidak harus gratis. Dengan penyajian yang menarik, buku-buku tersebut dapat menjadi media informasi tambahan bagi pengunjung, selain dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pengelola museum.

Meski demikian, saya merasa senang dan puas dapat mengunjungi Museum Sangiran.

Museum Sangiran buka setiap hari kecuali hari Senin.

Keanekaragaman

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan main ke negeri tetangga. Di sedikit waktu luang yang saya punya selepas menuntaskan keikutsertaan di acara yang menjadi alasan utama saya pergi ke sana, saya diantar bepergian ke luar kota oleh kedua sepupu saya yang manis dan baik hatinya 🙂

Salah satu hal yang saya tangkap dari pemandangan di luar jendela kendaraan yang saya tumpangi adalah kesan betapa teratur dan tertatanya segala sesuatu yang nampak oleh mata. Misalnya baliho. Baliho tidak tersebar banyak, seandainyapun ada juga dalam ukuran yang wajar, tidak nampak terlalu menyolok.

Setelah saya amati dan pikir lebih jauh, sepertinya kesan teratur dan tertata itu lebih dipengaruhi oleh sedikitnya jenis tanaman yang tumbuh di sana. “Tumbuh di sana” mungkin berlebihan dan belum tentu akurat, terlebih karena saya bukan pengamat atau peneliti jenis-jenis tanaman. Tapi setidaknya dari yang terlihat oleh mata di sepanjang perjalanan, tanaman yang ada banyak yang tampak serupa.

Kesan berbeda saya peroleh ketika saya berkesempatan jalan-jalan di negeri sendiri. Kesan tanaman yang rimbun, beraneka jenis yang tercampur  di satu tempat, melekat kuat hampir di setiap tempat. Kesannya tidak begitu teratur dan tertata. Menurut saya ini bukan sekedar masalah penataan penanaman tanaman, tapi ya karena memang tanaman di negeri kita sungguh lebih beraneka macam.

Kata orang, biodiversitas Indonesia paling tinggi kedua di dunia setelah Brasilia. Jadi keanekaragaman tanaman kita mungkin memang lebih unggul dari negeri tetangga yang saya kunjungi itu.

=====

Nah, kebetulan beberapa waktu sesudah saya pulang, saya membaca artikel Mbak Elizabeth Pisani ini. Saya tidak begitu peduli dengan bagian awal artikelnya. Yang paling menarik perhatian saya justru kalimat-kalimat di paragraf kedua dari akhir. Saya kutipkan di sini:

The fact is, the more diverse a democracy, the more political compromise you need to glue it together. And Indonesia is probably the most diverse democracy in the world. A great deal of the country’s energy, attention and resources for many years to come will be turned inwards, focused on maintaining the exquisite balancing act that is Indonesian democracy.

Saya rasa kita semua sudah sejak lama menyadari, betapa Indonesia dikaruniai banyak hal yang beraneka ragam. Tidak hanya jenis tanamannya, tapi juga budaya, suku, ras, dan agamanya. Namun keanekaragaman itu juga membawa konsekuensi pada besarnya upaya yang harus dikerahkan untuk menjaga keseimbangan dan merekatkan, bukan hanya flora, fauna, dan alamnya, tapi juga budaya, suku, ras, dan agamanya.

Saya percaya bahwa kesediaan untuk mendengar dan selalu peka pada kebutuhan pihak lain akan memudahkan upaya untuk merekatkan keanekaragaman budaya, suku, ras dan agama yang berbeda itu. Pertanyaannya adalah: Masihkah ada kesediaan untuk itu?

Atau mungkinkah sudah semakin banyak orang merasa bahwa hidup akan lebih mudah ketika keanekaragaman itu diganti menjadi keseragaman?

Selamat pagi Indonesia.

Jogja International Batik Biennale 2016

Tadi saya mengunjungi Jogja international Batik Biennale 2016. Di dalam arena pameran, selain terdapat kios-kios penjual berbagai produk batik, juga ada kios Balai Besar Kerajinan dan Batik yang menyediakan informasi tentang batik, bukan batik, dan penggunaan batik dalam siklus hidup manusia.

Jogja International Batik Biennale 2016

Jogja International Batik Biennale 2016

Istilah batik telah ditetapkan sebagai standar dalam SNI 0239:2014. Standar ini digunakan sebagai acuan untuk membedakan produk batik dan bukan batik. Dalam SNI 0239:2014 tersebut, batik dijelaskan sebagai kerajinan tangan sebagai hasil pewarnaan secara perintangan menggunakan malam (lilin batik) panas sebagai perintang warna dengan alat utama pelekat lilin batik berupa canting tulis, dan atau canting cap untuk membentuk motif tertentu yang memiliki makna.

SNI 0239:2014

SNI 0239:2014

Tersaji penjelasan yang memadai untuk membantu pengunjung belajar membedakan mana batik tulis, mana batik cap, dan mana yang bukan batik. Ada beberapa rangka pajang kain, di mana pada masing-masing rangka digantung tiga helai kain. Pengunjung “ditantang” untuk mampu membedakan mana batik tulis, mana batik cap, dan mana kain bukan batik namun bermotif batik.

Dari hasil “berlatih”, menurut saya secara umum kain bukan batik memiliki motif yang terlalu rapi dan teratur. Pola motif batik pada kain bukan batik terulang dengan terlalu sempurna, garis batas antar pola tergambar tajam dan rapi. Beberapa di antara kain bukan batik juga hanya memiliki motif batik di satu sisinya (tidak tembus), meski ada kain bukan batik yang motifnya tembus (ada di dua sisi). Selain itu, umumnya kain bukan batik tidak memiliki bau malam batik, meski ada pula produsen kain bukan batik yang berupaya memberikan bau malam batik pada kain produksinya 🙂

Selain mengajak pengunjung berlatih membedakan batik dengan bukan batik, penyelenggara juga menyediakan informasi tentang penggunaan batik dalam siklus hidup manusia. Ada motif-motif batik dengan makna simbolis tertentu yang digunakan untuk kejadian-kejadian tertentu dalam hidup manusia. Misalnya untuk acara siraman sebelum pernikahan, digunakan batik bermotif wahyu tumurun, cakar, grompol; pada saat kematian, batik motif kawung polos atau slobok digunakan sebagai penutup jenazah. Kain-kain batik dipajang dengan dikelompokkan berdasarkan penggunaannya. Variasi motif batik Yogya dan Solo juga disandingkan.

Slobog Solo dan Slobog Yogyakarta

Slobog Solo dan Slobog Yogyakarta

Dalam arena acara tadi, juga dipamerkan hasil karya batik dengan motif atau gambar non tradisional, beberapa di antaranya hasil karya seniman asing.

East Caryatids by Tatyana Agababayeva

East Caryatids by Tatyana Agababayeva

Kunjungan yang mengesankan bagi saya. Terimakasih bagi para penyelenggara.

Apakah kita semakin tidak sabaran?

Sir Alex Ferguson, mengawali kiprahnya di Manchester United dengan kekalahan 0-2. Jadi manajer sejak 1986, tapi baru juara pada musim 1992-1993. Bagi para manajer zaman sekarang, itu kesempatan yang amat langka. Para “analis” akan mendapatkan mangsa empuknya pada si sosok manajer yang tak “berprestasi” dalam rentang waktu selama itu, pada klub yang sebesar itu (MU sudah pernah menjuarai berbagai kompetisi pada tahun-tahun sebelumnya, meski tak semengkilap pada era SAF).

9 Agustus 1965, dalam keadaan serba tak siap, Singapura berpisah dengan Malaysia. Lee Kuan Yew, yang hingga saat itu amat meyakini persatuan dengan Malaysia adalah jalan terbaik bagi masa depan Singapura, amat terpukul. Dikisahkan ia menyepi hingga enam minggu sebelum melakukan langkah apapun. Sungguh tak terbayangkan kondisi semacam itu terjadi di zaman sekarang. Demo pasti sudah terjadi di mana-mana. “Ada di mana pemerintah?”, mungkin begitu kira-kira isi demonya.

SAF dan LKY jelas bukan sosok yang sempurna, namun pada akhirnya ada banyak prestasi yang mereka catatkan dalam sejarah. Catatan prestasi istimewa itu tak mungkin terwujud tanpa “kesabaran” orang-orang di sekitarnya. “Kesabaran” untuk menunggu, sekaligus “memberikan toleransi” pada sisi-sisi negatif diri mereka.

Mungkin ada yang mengira tulisan ini untuk mengomentari keriuhan politik Indonesia akhir-akhir ini. Silakan saja.

Tapi ada banyak hal lain yang mungkin bisa ikut kita cermati juga.

Di hari-hari ini, orang bisa memutuskan hal besar hanya karena satu atau dua hal kecil. Memutuskan hubungan dengan pasangan hanya karena satu dua perselisihan. Marah besar pada anak hanya karena satu dua nilai ulangan yang kurang memuaskan. Memecat karyawan hanya karena satu dua penilaian kinerja yang mungkin hanya sedikit di bawah standar. Bahkan, mencelakai atau membunuh orang hanya karena satu dua masalah yang amat sangat sepele.

Apakah sungguh kita semakin tidak sabaran?

Mudik

Bertahun-tahun yang lampau, pada hampir setiap liburan panjang sekolah saya menjalani perjalanan mudik. Waktu itu saya bersama orang tua dan adik saya mudik ke Trangkil, desa kecil dekat kota Pati, tempat kakek dan nenek saya tinggal.

Perjalanan mudik belumlah semudah dan senyaman sekarang. Kami mesti naik bus, dari Solo ke Purwodadi, lalu berganti bus lain dengan tujuan Pati, lalu berganti lagi dengan bus atau angkutan lain yang lebih kecil menuju Trangkil. Kadang kami melalui rute lain: Solo – Semarang, Semarang – Kudus, Kudus – Pati, Pati – Trangkil. Itupun belum tiba di rumah kakek nenek. Kami mesti menunggang dokar atau becak agar sampai di tujuan. Dua orang tua, dua anak kecil, dengan bawaan tas berisi barang pribadi, belum lagi ditambah bawaan oleh-oleh, berganti-ganti kendaraan tumpangan, sungguh pengalaman yang mengesankan.

Ketika kakek nenek semakin menua, mereka pindah ke Semarang dan Solo, bergantian, tinggal di rumah anak-anaknya. Ritual mudik kami berakhir.

Sekarang, setelah mereka berdua tiada, keluarga besar kami jarang sekali berkumpul di masa libur lebaran. Keluarga besar kami lebih memilih untuk berkumpul di hari-hari lain di luar libur lebaran, menghindari arus padat pemudik.

Mudik dijalani umumnya karena satu alasan besar: berkumpul dengan orang tua dan kerabat di kampung halaman (atau di manapun orang tua dan kerabat tinggal). Tapi ketika alasan besar itu hilang karena berbagai sebab, ritual mudik mungkin juga tak lagi dijalani.

Dengan arus pergerakan penduduk yang makin mendekat ke kota-kota besar, kira-kira hingga berapa lama lagikah perjalanan mudik ini masih akan marak? Atau mungkin malah ada penjelasan lain yang memperkirakan perjalanan mudik justru akan lebih marak?

Categories: budaya, keluarga Tags: , ,

Apa itu pakaian adat?

Minggu lalu, anak saya yang duduk di bangku playgroup menyampaikan surat dari sekolah, bahwa pada tanggal sekian setiap anak diminta untuk mengenakan pakaian adat, dalam rangka memperingati Hari Kartini.

Cari info sana sini, akhirnya istri saya mendapat alamat tempat persewaan baju adat. Sabtu lalu, kami pergi ke sana. Setelah melihat-lihat pilihan baju adat yang tersedia, anak saya tetap tidak tertarik untuk memilih apalagi mencoba salah satunya.

Lalu ia mengajukan usul yang menurut saya amat menarik, “Pakai baju merah waktu dapat angpao itu saja.”

Bajunya kira-kira seperti ini:

cheongsam

 

Itu betul pakaian adat. Toh tidak juga disebut adat mana 🙂
Andaikan jadi dipakai, kira-kira apa tanggapan orang ya?

Dan sebenarnya, mengapa ya tiap Hari Kartini anak sekolah diminta mengenakan baju adat?

Categories: anak, budaya, Uncategorized

Hubungan antara pasien buta huruf dan sistem informasi

“Yohana Anau!” panggil staf RS bagian farmasi. (Nama pasien, diagnosis, dan obat yang disebutkan adalah fiktif belaka, dimaksudkan sebagai contoh kasus saja.)

Seorang wanita muda yang menggendong anak berjalan mendekati loket farmasi. Ia menyerahkan selembar kartu pasien yang berlumur ingus anaknya kepada staf farmasi. Staf farmasi yang mengenakan sarung tangan karet menerima kartu pasien tersebut, memeriksa nomor rekam medisnya, mengambil obat yang sudah disiapkan, lalu berusaha menjelaskan cara pemakaian obat pada si pasien yang tidak begitu memahami bahasa Indonesia dan juga tak lincah membaca menulis.

Image

“Mama sakit batuk kah?” tanya staf farmasi, sambil memperagakan batuk.
Si pasien mengangguk.
“Obat ini diminum sebutir sehari empat kali,” jelas staf farmasi, sambil menunjukkan empat jari tangan.
“Mengerti?”
Si pasien kembali mengangguk.
“Sekarang cap jempol tangan di sini.” Staf farmasi mengangsurkan selembar kertas bukti tanda terima obat dan bantalan tinta.
Pasien memberikan cap jempolnya di lembar yang disediakan, dan obat diserahterimakan.

==============

Rutinitas semacam itu yang tampak hampir sepanjang jam operasional di ruang farmasi pada sebuah RS kecil di bagian timur Indonesia sana.
Sekilas tampak normal. Namun di balik apa yang tampak itu, ada berbagai kendala yang dihadapi.

Sebagian besar pasien hanya sedikit memahami bahasa Indonesia. Dan sebanyak itu pula pasien yang tidak mampu membaca dan menulis.
Penjelasan mesti diberikan dengan bantuan bahasa isyarat, didukung dengan harapan: semoga informasi yang disampaikan dipahami dengan benar dan dijalankan oleh pasien. Terkadang ada pasien lain yang paham bahasa Indonesia, dan mereka dapat membantu menyampaikan penjelasan petugas medis pada si pasien dalam bahasa lokal.

Tidak jarang dijumpai pasien yang tidak mengonsumsi obat sesuai dengan cara yang telah dijelaskan. Obat yang berwarna-warni itu berakhir di dinding rumah, diperlakukan layaknya pajangan, karena warna-warninya yang dianggap menarik. Tidak jarang pula jatah obat untuk sekian hari dikonsumsi sekaligus, mungkin karena pasien mengira itu bisa membuat ia makin cepat sembuh.

Bukan hal yang langka pula, pasien yang datang mendekat ke loket bukanlah pasien yang memiliki nama yang sebelumnya dipanggil staf farmasi (atau dipanggil staf medis di poliklinik). Pasien yang mendekat itu datang hanya karena agar ia bisa segera menerima obat (yang adalah obat pasien lain) dan segera bisa pulang. Bila staf farmasi tidak jeli memeriksa kartu pasien, obat yang salah dapat diserahterimakan. Resiko ini makin besar untuk terjadi bila pasien kebetulan tidak membawa kartu, atau bahkan membawa kartu milik pasien lain.

Sebagian besar pasien yang datang tidak tahu tanggal lahirnya sendiri.

==============

Bagaimana cara memperkecil kemungkinan kesalahan pemberian obat? Bagaimana cara mengurangi kemungkinan kejadian salah panggil pasien (sekalipun si pasien dengan sengaja datang walau bukan namanya yang dipanggil)? Bagaimana cara mencatat umur pasien yang tidak diketahui jelas tanggal lahirnya?

Ini adalah sekedar beberapa contoh tantangan nyata bagi implementasi teknologi informasi. Bagaimana teknologi informasi mampu mendukung kerja staf RS dalam menghadapi berbagai persoalan non-teknis seperti itu. Sekedar membuat sistem informasi (sistem informasi apapun), yang memiliki kolom isian lengkap dan alur kerja yang detail tentu adalah hal yang benar. Tapi membuat agar sistem informasi dengan kolom isian lengkap dan alur kerja detail itu dapat diisi dengan data nyata dalam kerangka waktu yang masuk akal oleh petugas di lapangan, bagi saya adalah tantangan sebenarnya.

Tidak jarang penyusun kebijakan dan pengembang sistem informasi berbincang panjang dan lebar tentang berbagai aspek teknis dalam teknologi informasi: menggunakan DBMS apa, menggunakan framework apa, mengapa memilih teknologi ini ketimbang itu, seperti apa dataset yang lengkap dan mampu menampung seluruh data yang diminta berbagai stakeholder, dst.

Tapi mungkin adakalanya kita juga perlu berbicara tentang berbagai aspek ‘manusiawi’ dari kebijakan dan sistem informasi yang tengah dibangun: seberapa mampu SDM yang ada menggunakan sistem yang tengah dibuat, seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisi sebuah form, apakah kolom data mandatory (harus terisi) yang ada di dalam form isian itu sungguh adalah data yang tersedia di lapangan, apakah sungguh sistem informasi yang tengah dibangun itu mempercepat kerja petugas lapangan alih-alih memperlambatnya, dst.

Menuliskan tulisan ini sungguh mengingatkan saya pada slogan: information technology for everyone..