Archive

Archive for the ‘pemilu’ Category

Andrew Young

Pada suatu tengah malam, setelah iseng-iseng mencoba berbagai saluran siaran TV, saya tertarik pada tayangan Oprah Winfrey Show. Kebetulan saat itu seorang yang bernama Andrew Young menjadi bintang tamunya. Sebelum menonton acara Oprah tersebut, saya belum pernah mendengar dan tahu siapa itu Andrew Young. Ternyata kisah Andrew Young yang disampaikan dalam OWS ini menarik perhatian saya.

Sebagai informasi awal, Andrew Young adalah mantan pembantu/ajudan utama dalam tim kampanye John Edwards, saat John Edwards maju berkampanye sebagai bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat pada tahun 2008 yang lalu. John Edwards sendiri, sebelum maju dalam pencalonan presiden AS, adalah seorang senator dari Partai Demokrat.

Lalu apa yang menarik bagi saya?

Andrew Young adalah seorang teman lama John Edwards, mereka sudah berteman selama hampir sekitar 10 tahun, dan ia sangat mendukung ide-ide besar John Edwards untuk Amerika. Itu sebabnya ia mendukung dan bahkan terlibat sebagai staf penting dalam tim kampanye John Edwards. Pada bulan Oktober 2007, di tengah sengitnya persaingan antar kandidat Partai Demokrat – John Edwards, Barack Obama, dan Hillary Clinton, sebuah surat kabar memberitakan kabar tentang dugaan perselingkuhan John Edwards dengan Rielle Hunter, dan Rielle Hunter dikabarkan tengah mengandung anak dari hubungan mereka. Sebagai kandidat kuat pada proses pencalonan internal Partai Demokrat (menjelang akhir tahun 2007 John Edwards bersaing ketat pada posisi 1 dan 2, dengan Barack Obama), tentunya pemberitaan ini berpotensi merugikan John Edwards.

Menurut apa yang disampaikan oleh Andrew Young dalam OWS (ya, tulisan ini didasarkan pada cerita Andrew Young, yang tentu bisa dipandang sebagai kisah subyektif), pada titik itulah John Edwards meminta bantuannya, sebagai teman baik, agar tampil mengaku bahwa Andrew Young-lah ayah dari bayi yang tengah dikandung Rielle Hunter. John Edwards menjanjikan pada Andrew Young bahwa ini hanya untuk sementara, sebagai upaya penyelamatan kampanyenya dan (ini yang lebih ditekankan John Edwards) untuk melindungi istrinya yang tengah menderita kanker payudara (dan diperkirakan tidak akan lama bertahan hidup) dari pemberitaan negatif. John Edwards menjanjikan akan mengaku pada publik apa sebenarnya yang terjadi pada suatu saat nanti. Andrew Young hanya memiliki waktu sekitar 12 jam (saya lupa mengapa 12 jam) untuk memutuskan sesuatu atas permintaan bantuan ini. Ia bercerita pada istrinya tentang hal ini. Sedari awal Andrew Young cenderung bersedia membantu John Edwards, di samping demi kebaikan Elizabeth Edwards (istri John Edwards), juga agar ide-ide besar John Edwards untuk Amerika dapat terus diperjuangkan (dengan harapan John Edwards berhasil menjadi presiden Amerika). Entah bagaimana, istri Andrew Young akhirnya setuju. Maka tampillah Andrew Young ke publik, mengaku bahwa ialah ayah dari bayi yang tengah dikandung Rielle Hunter.

Tentu saja, pengakuan Andrew Young tersebut bukannya tanpa efek apa-apa terhadap diri dan keluarganya. Ia menanggung segala penghinaan dan aib yang ditimpakan kepadanya. Ia bahkan dijauhi oleh sesama rekannya dalam tim kampanye John Edwards. Dan semua itu demi John Edwards serta istrinya. Elizabeth Edwards, yang tidak mengetahui soal kesepakatan tersebut, tentu juga berpandangan dan berkomentar negatif pada Andrew Young, seseorang yang dianggapnya adalah teman baik suaminya. Andrew Young dan keluarganya hidup berpindah-pindah di rumah sewaan, bersama Rielle Hunter (dan bayinya). Sebuah kehidupan yang jauh dari nyaman tentunya, untuk tidak menyebutnya bagai hidup di neraka.

Titik balik dalam diri Andrew Young mulai muncul ketika ia melihat bahwa setelah pengakuan itu, semakin lama John Edwards tampak semakin menjauhi dirinya. Ditambah lagi kenyataan bahwa John Edwards sepertinya tidak menaruh perhatian pada Rielle Hunter dan bayinya. Hingga akhirnya Andrew Young mulai membuka kisah sebenarnya ke publik, dan pada Februari 2010 ia menerbitkan sebuah buku yang menceritakan secara detail kisah ini.

Selama saya mengikuti tayangan itu, saya tak henti-hentinya merasa heran, mengapa Andrew Young (dan istrinya) bisa bersedia berkorban sejauh itu? Terlebih dalam wawancara di OWS, Andrew Young menjelaskan bahwa sedari awal ia tahu ini adalah hal yang salah dan akan sangat merugikan diri dan keluarganya. Namun ia selalu menekankan bahwa ini ia tempuh demi Elizabeth Edwards dan ide-ide besar John Edwards untuk Amerika. Menanggapi pernyataan ini, sebuah pertanyaan menohok dilontarkan Oprah, “apakah seorang yang telah berbuat sesuatu yang salah, dan kemudian meminta sahabatnya berkorban untuknya, untuk menutupinya, masih layak menjabat sebagai presiden Amerika, dengan ide-ide besarnya?” Tak ada jawaban jelas dari Andrew Young soal ini.

Banyak pemikiran yang berkelebat di benak saya selepas mengikuti tayangan itu. Apakah dunia politik memang sekotor itu? Mengutamakan pencitraan diri di atas segalanya, bahkan di atas kebenaran, dengan mengatasnamakan ide-ide besar dan mulia yang sedang diusung? Tidak jarang saya melihat atau setidaknya mendengar seseorang mengorbankan nilai-nilai dan kebenaran yang diyakininya demi lancarnya karir yang sedang ditempuh, namun saya tidak menduga ada yang bersedia mengorbankan sebegitu banyak nilai hidup. Saya naif? Mungkin. Tapi kisah ini mengantar saya untuk bertanya juga pada diri saya sendiri, adakah nilai-nilai yang sedang saya korbankan demi kegiatan-kegiatan saya saat ini? Kisah ini juga mungkin akan mendorong kita untuk lebih kritis pada tokoh-tokoh publik, yaitu mereka yang memiliki tekanan lebih besar untuk menampilkan citra yang benar-benar baik, tanpa cela. Tanpa niat melakukan generalisasi, kenyataannya apa yang tampak baik, bisa jadi sebenarnya tidak demikian.

Menarik pula jika kita mencoba berolah pikir. Apa yang akan kita lakukan jika kita menjadi John Edwards, yang menghadapi ancaman kehancuran karir politik? Apa yang akan kita lakukan jika kita menjadi Andrew Young, yang setelah bertahun-tahun berjuang mendukung seseorang dengan ide-ide yang ia yakini benar dan baik untuk bangsanya mendapati orang tersebut melakukan hal yang sebenarnya tercela? Bagaimana pula jika kita menjadi istri Andrew Young, atau Elizabeth Edwards? Bagaimana jika Anda menjadi masyarakat biasa, pendukung John Edwards? Apa yang akan Anda katakan atau lakukan?

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Catatan: Tulisan ini dibuat dengan dasar pernyataan-pernyataan Andrew Young dan istrinya dalam tayangan Oprah Winfrey Show dan beberapa artikel Wikipedia. Penulis sudah berupaya secermat mungkin mencantumkan fakta yang terkait. Jika ada kesalahan tulis atau kutip dalam penyampaian fakta, silakan sampaikan koreksi Anda.

Semakin tinggi dan penting jabatan, semakin sulit mengambil keputusan

Membaca judul itu sekilas, saya yakin banyak dari kita yang merasa sudah menyadari hal itu. Awalnya saya juga merasa demikian. Namun ketika saya mengikuti pemberitaan soal pemilihan cawapres bagi SBY, saya mendadak tersadar bahwa soal mengambil keputusan ini tidak sesulit yang mulanya saya bayangkan, tapi jauh lebih sulit dari itu.

Semakin tinggi dan penting suatu jabatan, proses pengambilan keputusan akan semakin melibatkan banyak faktor. Ada banyak pula kemungkinan, peluang dan resiko, yang mesti ditimbang sangat matang. Saya sebagai kepala keluarga misalnya, jika saya mengambil keputusan untuk berpindah pekerjaan, faktor keluarga tentu saya harus pertimbangkan. Apakah pekerjaan baru itu mampu lebih menghidupi keluarga saya? Apakah istri mendukung? Bagaimana pandangan orang dan keluarga besar terhadap pekerjaan itu? Kira2 seperti itulah. Akan sedikit berbeda misalnya, jika saya sebagai ketua RT harus menyelesaikan masalah adanya beberapa PKL yang mangkal di lingkungan saya. Apakah yang saya putuskan menyelesaikan persoalan bagi mereka yang merasa terganggu saja, atau juga memberikan ketentraman bagi seluruh warga RT saya? Apakah ada pihak yang terganggu jika PKL tersebut pindah dari lingkungan RT saya (selain PKL tersebut tentunya)? Apakah dengan pindahnya PKL tersebut dapat memunculkan kemungkinan adanya gangguan dari pihak yang tidak suka dengan keputusan itu? Proses pengambilan keputusan menjadi tidak sederhana lagi.

Di tingkat yang lebih tinggi, saya mencoba mengambil contoh kasus lumpur Sidoarjo. Dari yang terbaca di media massa, masyarakat banyak jelas berharap pemberian ganti rugi korban dilakukan secepatnya oleh Lapindo, yang dianggap bertanggung jawab atas persoalan ini. Namun di sisi lain, terlihat juga bahwa pemberian ganti rugi tidak tepat jadwal. Muncul pertanyaan di benak saya, apakah bagi mereka yang duduk di posisi pemerintah masalahnya sesederhana seperti yang dilihat oleh masyarakat banyak: Lapindo mengebor, bukan minyak yang muncul tapi lumpur, lumpur meluber hingga ke permukiman di sekitarnya, Lapindo harus memberi ganti rugi? Bila pemerintah menekan Lapindo untuk segera menyelesaikan urusan ganti rugi, apakah akan ada dampak atas dukungan parlemen untuk pemerintah? Bila benar ada dampak semacam itu, apakah dalam skala luas masyarakat akan menerima dampak baik atau buruk? Apakah kebijakan lain yang mungkin dirasa baik oleh masyarakat, katakanlah misalnya BLT (dengan segala kekurangan dan kritik atasnya), akan terpengaruh juga pelaksanaannya?

Contoh lain yang mungkin lebih up-to-date adalah soal pemilihan cawapres untuk SBY. Benar bahwa Partai Demokrat memiliki bekal suara di parlemen cukup besar, tapi apakah cukup untuk memberikan jaminan stabilitas jalannya pemerintahan? Pemilihan cawapres bisa jadi berperan penting dalam menentukan stabilitas jalannya pemerintahan. Semua manuver2 yang terjadi belakangan ini — yang bagi kita masyarakat banyak tampak seperti tidak konsistennya partai2 tersebut dalam menentukan posisi masing2 — bisa jadi sebenarnya adalah ajang bagi partai2 tersebut untuk mengukur dan menguji apakah keputusan2 yang akan diambil sudah yang terbaik, yang mampu mencakup semua faktor yang harus dipertimbangkan.

Bagi saya, pemangku jabatan yang baik adalah mereka yang mampu menimbang banyak faktor tersebut dengan baik, untuk menghasilkan keputusan yang sebisa mungkin memenuhi rasa keadilan dan kebutuhan semua pihak. Dan tidak hanya itu, mereka juga sebaiknya mampu mengkomunikasikan dengan baik semua pertimbangan tersebut kepada publik.

NB: Saya tidak dalam posisi menentukan benar salahnya Lapindo, ataupun pemerintah dalam menanggapi kasus Lapindo. Kasus tersebut hanya sekedar contoh untuk menunjukkan betapa sulit dan rumitnya proses pengambilan keputusan bagi mereka yang memegang jabatan tinggi dan penting. Saya juga tidak berpendapat stabilitas adalah segala2nya, sedemikian pentingnya sehingga perlu diadakan dengan mengorbankan hal2 lain yang tidak kalah pentingnya.

Sebuah usulan mekanisme penghitungan kursi DPR(D)

Selama ini saya memahami demokrasi sebagai sistem kenegaraan dimana rakyat dapat memilih siapa2 saja yang dapat mewakili mereka untuk menyuarakan keinginan dan harapan mereka. Rakyat memiliki hak pilih atas wakilnya, itu singkatnya. Yang namanya hak, boleh digunakan, dan tidak dilarang untuk tidak digunakan. Dengan demikian, rakyat boleh menentukan, apakah dia akan memilih wakilnya, atau dia tidak akan memilih wakilnya.

Pada pemilu kemarin, banyak berita tentang sejumlah warga negara yang tidak tercantum namanya di DPT (daftar pemilih tetap), dan oleh karena itu kehilangan haknya untuk memilih. Selain mengungkapkan protes, tidak ada yang bisa dilakukan mereka yang kehilangan haknya itu untuk kembali memperoleh haknya. Pemilu tetap berlangsung, dan oleh beberapa pihak, dinyatakan sukses, karena menurut mereka pemilu berlangsung dengan lancar.

Saya tidak memiliki data dan bahan informasi untuk memperkirakan berapa banyak mereka yang terpaksa golput seperti ini. Tapi setelah saya pikir2, nampaknya aneh bila hanya sebagian (entah berapa persen, semoga bukan 68% 🙂 ) yang memilih, tapi jumlah kursi DPR(D) tetap. Dengan jumlah pemilih yang utuh (semua yang memenuhi syarat sebagai pemilih dapat memberikan suaranya, dan memiliki informasi yang cukup tentang bagaimana melakukan pemilihan dengan benar, agar surat suaranya dinyatakan sah), BPP (bilangan pembagi pemilih = berapa jumlah suara yang diperlukan agar seorang caleg lolos menjadi anggota DPR(D)) pasti akan bernilai lebih besar daripada jika ada sebagian pemilih yang tidak memperoleh hak pilihnya. Misalnya, pada suatu daerah dengan jumlah warga yang berhak pilih 1 juta jiwa, tersedia 10 kursi DPR. Maka nilai BPPnya adalah 1.000.000 / 10 = 100.000. Seorang anggota DPR akan didukung minimal oleh 100.000 pemilih. Nah, misalnya dari 1 juta pemilih itu, yang ternyata masuk dalam DPT hanya 750.000 jiwa saja, maka nilai BPP menjadi 75.000. Bagi saya ini agak aneh, karena dengan demikian nilai legitimasi seorang anggota DPR menjadi lebih rendah. Selain itu, ini berarti mereka yang terhilang hak pilihnya, diabaikan begitu saja. Nyontreng atau tidak, tidak ada bedanya. Pemilu tetap berlangsung, anggota DPR(D) tetap jumlahnya.

Mari kita bawa contoh masalah ini ke kondisi yang lebih ekstrem. Misalnya, dari 1 juta warga yang seharusnya punya hak pilih, ternyata yang masuk DPT hanya 1 orang, maka betapa beruntungnya partai atau caleg yang kebetulan tercontreng oleh satu orang itu. Sekali contreng, 10 kursi didapat.

Kemudian saya mengkhayalkan suatu sistem yang mengizinkan jumlah anggota DPR tidak harus sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia. Kursi DPR hanya terisi sebanding dengan pemilih yang memutuskan untuk memilih wakilnya di DPR. Pemilih yang memutuskan untuk tidak memiliki wakil di DPR dihargai dengan mengosongkan kursi wakil mereka di sana. Dengan contoh tadi, seandainya dari 750.000 pemilih semuanya menentukan pilihan, maka maksimal hanya 7 (jika dibulatkan ke bawah), atau 8 kursi (jika dibulatkan ke atas) akan terisi.

Saya membayangkan, dengan sistem seperti itu, ada beberapa hal positif yang bisa diperoleh:

1/ Ada parameter tambahan untuk mengukur kualitas pemilu, yang dalam hal ini bisa dilihat dari tingkat keikutsertaan pemilih.
Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam pemilu (KPU, Depdagri, parpol, caleg) akan berusaha keras agar pemilih benar2 mau ikut serta menentukan wakilnya di DPR(D).

2/ Hak suara pemilih benar2 dihargai.
Jika pemilih berkeinginan untuk tidak diwakili, itu dihargai. Jika pemilih berkeinginan untuk diwakili, itu juga dihargai. Tidak ada suara yang terabaikan dalam sistem seperti ini.

3/ Ada efek ‘hukuman’ terhadap parpol yang mengecewakan pemilih.
Jika selama ini kita sering diberitahu bahwa untuk menghukum parpol yang mengecewakan kita dengan tidak menyerap aspirasi2 kita adalah dengan tidak memilihnya lagi 5 tahun yang akan datang, maka dengan sistem ini, efek hukumannya lebih terasa. Karena pemilih bisa menyusutkan jumlah anggota DPR(D).

4/ Partai politik lebih terdorong untuk semakin berusaha menyerap suara pemilih.
Dengan sistem yang sekarang ada, parpol cukup perlu untuk mendapat lebih banyak suara daripada pesaing2nya. Asal sudah lebih banyak dari pesaingnya, ya sudah. Dengan sistem khayalan ini, parpol akan lebih terdorong meraih simpati dari sebagian besar pemilih, termasuk dari mereka yang berniat untuk golput.

5/ Mendorong terbentuknya data kependudukan yang akurat dan up-to-date.
Seperti yang kita lihat dari pemilu ke pemilu, data pemilih terkait erat dengan data kependudukan. Oleh karena itu kita bisa berharap Depdagri akan lebih terdorong untuk mengefisienkan model pendataan kependudukan.

6/ Mendorong terciptanya mekanisme pencontrengan/pencoblosan yang sederhana dan efisien.
Agar jumlah suara yang sah tinggi, salah satu hal yang harus diperbaiki adalah mekanisme pemilihan itu sendiri. Semua pihak akan terdorong mencari cara pemilihan yang paling sederhana dan efisien, yang paling rendah tingkat kemungkinan salahnya. Baik itu mencoblos, atau mencontreng, atau cara lain yang mungkin lebih baik.

Ini sekedar usulan sederhana dari seorang warga negara yang mengimpikan negaranya berjalan menuju ke arah yang lebih baik.

Categories: kehidupan, pemilu Tags: , , ,