Archive

Archive for the ‘film’ Category

CODA

Ruby, tokoh utama dalam film ini, adalah seorang gadis remaja dari sebuah keluarga Tuli (tunarungu). Ayah, ibu, dan kakak laki-laki Ruby Tuli. CODA sendiri merupakan singkatan dari “child of deaf adults”. Mereka sekeluarga berkomunikasi dengan menggunakan American Sign Language (ASL). Meski lahir dalam keluarga Tuli, Ruby memiliki bakat menyanyi. Frank dan Leo – ayah dan kakak Ruby – bekerja sebagai nelayan.

Kehidupan nelayan yang memang keras, mendapat tantangan ekstra ketika Frank dan Leo mencoba mengorganisir koperasi untuk nelayan. Demi terwujudnya koperasi tersebut diperlukan lebih banyak lagi komunikasi, yang selama ini memang banyak dijembatani oleh Ruby sebagai penerjemah. Di sisi lain, Ruby mendapat kesempatan untuk melakukan audisi masuk sekolah musik dan memerlukan waktu ekstra untuk berlatih.

Read more…
Categories: film, keluarga Tags: , , ,

Don’t Look Up

Film komedi satir ini dibuka dengan penemuan sebuah komet yang berukuran cukup besar dan sedang mengarah ke Bumi, yang jika bertumbukan dengan Bumi akan bisa mengakibatkan kepunahan umat manusia.

Read more…

Taxi Driver

Dalam dunia hukum pidana ada adagium: lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Serial Taxi Driver mengajukan pertanyaan “lalu di mana keadilan untuk korban dari seribu orang yang bersalah yang dibebaskan itu?” dan mencoba “menawarkan” jawabannya.

Kim Do-gi bekerja sebagai sopir taksi di perusahaan taksi Pelangi yang dimiliki Jang Sung-chul. Di malam hari, dengan dukungan anggota tim lainnya: Ahn Go-eun, Choi Kyung-goo, dan Park Jin-eon mereka mengoperasikan “taksi mewah” – sebuah organisasi gelap yang menawarkan jasa balas dendam untuk orang-orang yang merasa kasusnya sulit untuk diselesaikan secara hukum. Mereka bahkan memasang iklan dengan tagline menarik: “jangan mati, balas dendam saja”. Mereka punya hubungan kerja sama dengan organisasi gelap lainnya yang dipimpin Baek Sung-mi.

Sembari mengupas kasus-kasus yang mereka hadapi, jalannya cerita juga menguak latar belakang tiap anggota tim Pelangi, menjelaskan alasan mereka bersedia terlibat dalam operasi taksi mewah.

Serial ini juga menghadirkan tokoh jaksa Kang Ha-na yang idealis tapi seiring hadirnya kasus-kasus sulit makin menyadari keterbatasan “jangkauan tangan” hukum.

Menarik untuk diikuti bagaimana pergulatan tim Pelangi maupun Kang Ha-na dalam menghadapi keterbatasan aturan hukum di satu sisi dan menghadapi penderitaan korban kejahatan yang sulit diselesaikan di sisi lainnya.

Awalnya mungkin para penonton mengira bahwa ini semata soal membalaskan dendam. Namun seperti yang banyak orang sadari juga, pembalasan dendam akan dapat menghasilkan balas dendam berikutnya. Gandhi pernah berkata: mata ganti mata hanya akan membuat dunia buta. Lalu bagaimana?

Lee Je-hoon bagaikan memainkan banyak karakter di serial ini, karena sebagai Kim Do-gi ia menjalankan banyak penyamaran. Esom memainkan karakter Kang Ha-na dengan baik.

Soundtracknya menurut saya juga menarik. Model Taxi, Silence, dan Collision menghadirkan aura “hero” seperti di film 80-90an.

Akan menarik jika ada season 2 nya.

Categories: film, kdrama Tags: , ,

Itaewon Class

Itaewon Class (2020) poster

[mengandung spoiler]

Itaewon Class menceritakan tentang perjalanan hidup seorang anak muda sejak ia menghajar seorang pelaku bullying di sekolahnya hingga ia mencapai kesuksesan dengan usaha kedai makannya.

Dua tiga episode awal mengantar cerita dalam ritme cepat. Dalam episode-episode pembuka itu, kejadian yang dialami Park Saeroyi, si tokoh utama, menarik perhatian saya untuk terus mengikuti cerita.

Park Saeroyi yang berjuang mengembangkan kedai makanannya menghidupkan cerita dengan aneka pelajaran mengenai nilai hidup dan kerja keras. Berwarnanya jalan cerita jelas juga atas dukungan karakter-karakter lainnya dalam serial ini.

Oh Soo-ah – cinta pertama Saeroyi – tidak sekuat dan seberani Saeroyi. Meski demikian pilihan-pilihan jalan hidup yang diambil Soo-ah dimaklumi Saeroyi. Jo Yi-seo yang kemudian hadir sebagai manajer kedai makanan Saeroyi (ia cerdas!), melengkapi hubungan cinta segitiga mereka. Choi Seung-kwon mantan preman, Ma Hyun-yi koki transgender, dan Kim Toni orang kulit hitam berdarah Korea memungkinkan munculnya mini story-arc.

Jang Dae-hee pemilik grup Jang Ga, menjalani masa muda yang berat. Setelah meraih kesuksesan ia menjadi sosok yang kuat dan berpengaruh. Banyak orang yang memilih takluk padanya. Saeroyi menjadi sosok yang berbeda di mata Dae-hee. Ia terpancing untuk melakukan banyak hal demi melihat Saeroyi takluk padanya.

Dalam serial ini ada dua tokoh pendukung yang menarik perhatian saya.

Yang pertama adalah Park Sung-yul, ayah Saeroyi, mantan manajer di grup Jang Ga. Kehadirannya singkat saja, tapi pengaruhnya mewarnai sepanjang cerita. Saya sangat terkesan dengan adegan “pertemuan kembali” Saeroyi dengan si ayah. Pembicaraan mereka di masa lalu “diputar ulang” dengan situasi yang baru.

Yang kedua adalah Lee Ho-jin, korban bullying di masa sekolah, yang kemudian dengan caranya sendiri bangkit mendukung Saeroyi di balik layar. Tanpa Ho-jin, jalannya cerita tak akan sama.

Tokoh Kim Soon-rye, si nenek “lintah darat”, sebetulnya menarik juga andaikan tidak terlalu banyak kebetulan yang menyertai kehadirannya di cerita.

Serial ini menghadirkan banyak detil yang menarik untuk disimak. Saya suka serial ini.

Categories: film, kdrama Tags: , , ,

Reply 1988

Reply 1988 (2015) poster

[Mengandung spoiler]

Dari saran beberapa teman, beberapa minggu lalu saya dan istri memutuskan mulai menonton serial ini.

Saya sudah membaca sebelum menonton bahwa serial ini bertema kehidupan bertetangga sehari-hari. Terus terang pada awalnya saya sempat memandang remeh serial ini. Oh betapa salahnya saya..

Mirip dengan kebanyakan serial lain, serial ini dimulai dengan mengenalkan tokoh-tokoh dan setting ceritanya. Karena tokohnya cukup banyak, sesi perkenalan ini butuh waktu (dan kesabaran para penontonnya). Serial ini berlatar tahun 1988 (dan kemudian 1994, dinarasikan dari sudut pandang sekarang – 2015) di sebuah gang di Ssangmun-dong pinggiran kota Seoul.

Saya mendapati betapa penggambaran hidup bertetangga dalam serial ini luar biasa mirip dengan yang saya (dan mungkin banyak penonton lain) alami dulu. Saling kirim makanan antar tetangga dengan anaknya yang diminta antar, anak yang saling bertandang ke rumah masing-masing sekedar untuk numpang nonton TV, ibu-ibu yang saling berbagi gosip – dan kadang beban hidup, juga teman-teman yang saling bantu (dan ejek). Sampai di situ mungkin banyak serial atau film lain yang menggambarkan situasi serupa.

Detil penggambaran suasana era itu memang adalah salah satu kekuatan Reply 1988. Kirim-kirim salam lewat radio, merekam lagu dari kaset teman, kaos nomor 23 milik Jordan, model rambut keriting khas ibu-ibu zaman itu ada di antaranya.

Tapi kekuatan sejati Reply 1988 adalah pada kedalaman pesan yang disampaikan. Detilnya sangat kaya, dan dalam jumlah yang nyaris tak terhitung, karena diceritakan sepanjang serial berjalan.

Ada banyak hal kecil yang diceritakan lewat gambar, tanpa kata.

Menjelang pernikahannya, Sung Bo-ra membelikan ayahnya sepatu baru. Berkali-kali sang ayah menyatakan betapa pas sepatu yang dibelikan putrinya itu. Tapi terlihat jelas (oleh penonton) di pada hari pernikahan bahwa ternyata sepatu itu terlalu besar ukurannya.

Pada adegan lain, digambarkan Bo-ra tinggal di asrama/indekos untuk persiapan ujian. Orang tuanya mengirimkan makanan untuknya. Diperlihatkan Bo-ra makan sepanci kepiting, dan pada adegan selanjutnya orang tuanya dengan bahagia makan sewadah kaki kepiting yang kecil-kecil.

Kim Jung-hwan yang cenderung serius dan pendiam suatu ketika bersedia memberikan candaan “Presiden Kim!” khas ayahnya pada si ayah ketika si ayah sedang marah untuk mencairkan suasana rumah.

Ada banyak sekali yang seperti ini, juga yang diwujudkan dalam kata-kata, termasuk voice-over tokohnya. Akumulasi dari penggambaran seperti ini menjadikan Reply 1988 luar biasa.

Bagaikan supermarket yang serba lengkap, serial ini menyajikan aneka hal tentang relasi antar manusia: antar tetangga, antara adik – kakak, antara anak – orang tua, antara murid – guru, antar teman, antar sepasang kekasih.

Jadi, tidak tepat jika dikatakan serial ini melulu soal nostalgia 80an.

Jika ada teman atau kerabat yang menyarankan untuk menonton serial ini, saya menyetujui saran itu. Serial ini lebih dari layak untuk ditonton.

Jangan lupa, nantikan suara kambing yang terdengar ketika terjadi situasi konyol 🙂

Categories: film, kdrama Tags: , , ,

Film “Di Timur Matahari”

“Di Timur Matahari” tidak begitu menarik sebagai sebuah film. Alur cerita terkesan kurang mulus, terselipnya humor ‘garing’ di sana-sini (contoh: Mazmur yang awalnya dikabarkan meninggal, ternyata tidak), akting yang tampak agak kaku dari beberapa aktornya.

Tapi sebagai sebentuk usaha menyampaikan apa saja yang ada dan terjadi di tanah Papua, ia tampak lengkap, tentu dengan asumsi kita percaya pada kacamata produser dan sutradaranya. Ada banyak hal yang ditampilkan di film itu, mulai dari keindahan pemandangan di sana, hingga ketimpangan kondisi masyarakatnya bila dibandingkan dengan bagian Indonesia yang lain, katakanlah Jawa.

Persoalan dalam hal pendidikan ditunjukkan dengan sekolah yang hadir tanpa tenaga guru hingga berbulan-bulan. Jomplangnya harga bahan pokok dan potensi masalah dalam NKRI ditampilkan secara mencolok melalui ucapan tokoh Vina: “Minyak goreng 10 liter Rp 350 ribu. Beras 2 karung Rp 1,8 juta. Gila.. Gimana nggak pada minta merdeka…”

Masalah perbedaan cara pandang terhadap hukum adat ditampilkan berkali-kali, diwakili oleh soal denda adat, balas dendam hutang nyawa, dan soal adat potong jari tangan.

Tak ketinggalan pula ditunjukkan potensi SDA Papua, yang menarik Ucok si perantau untuk mengadu nasib di sana, di tengah banyaknya SDM setempat yang menganggur dan sulit mencari kerja karena tak punya kemampuan bekerja yang memadai.

“Di Timur Matahari” mencoba menyampaikan begitu banyak hal, sehingga tiap penonton bisa saja menangkap pesan yang berbeda. Adegan penutupnya pun bisa ditafsirkan beraneka rupa: seorang bocah Papua beringus duduk menunggu di gubuk sebelah lapangan rumput tempat pendaratan pesawat perintis sambil memegang secarik kain merah putih yang tampak kusam.