Archive
Belajar Tidak Mengantri
Saat saya kecil dulu, saya banyak diajari untuk mengantri. Tidak hanya oleh orang tua, tapi juga oleh guru di sekolah. Tidak hanya sekali, berkali-kali. Tidak hanya lewat perkataan, tapi juga lewat teladan yang mereka berikan. Semuanya saya ingat betul, dan saya coba selalu terapkan hingga saat ini.
Namun saya juga masih ingat betul, kapan saya belajar untuk tidak mengantri.
Suatu kali saat saya masih duduk di bangku SD, saya diminta ibu saya untuk membeli sesuatu di pasar, di warung langganan ibu saya. Saya sudah sering diajak ibu berbelanja di pasar, termasuk di warung itu. Warung Bu Rakih namanya. Meski sering diajak ke situ, saya biasanya tidak memperhatikan proses ibu menawar dan membeli, saya lebih suka mengamati barang-barang dagangan yang ada. Nah, saat saya diminta ibu membeli sesuatu di situ, itu jadi pengalaman pertama saya bertransaksi di pasar.
Warung Bu Rakih ramai, seperti biasanya. Saya mendekat ke Bu Rakih dan pegawai-pegawainya, menunggu giliran saya untuk menyampaikan barang apa yang mau saya beli. Saya sudah mengamati siapa-siapa saja yang datang sebelum saya, dan saya sabar menunggu giliran saya. Singkat kata, saya mencoba mengantri. Para calon pembeli meneriakkan pesanannya. Hingga saat semua orang yang datang sebelum saya selesai dilayani, saya belum juga mendapat kesempatan menyampaikan pesanan saya. Orang-orang itu langsung saja meneriakkan pesanannya, dan mereka semua dilayani. Saya marah, saya bingung. Mengapa mereka tidak mengantri? Hingga suatu ketika Bu Rakih menanyai saya, apa yang mau saya beli.
Saya hingga saat itu banyak diajari mengantri, namun hari itu saya belajar tentang tidak mengantri.