Archive
Jurus Tangan Kosong
Pada suatu hari Minggu malam, Dessy menerima pesan berisi pertanyaan dari mama teman sekelas Karel di sekolah. Teman Karel ini termasuk anak rajin di kelasnya, tekun belajar.
Si mama menanyakan apakah benar buku pelajaran Bahasa Inggris dikumpulkan di sekolah. Setelah ditanyakan pada Karel, dia membenarkan hal itu.
Si mama teman Karel lanjut menanyakan untuk ulangan besok Karel belajarnya bagaimana/menggunakan bahan belajar apa. Kami juga agak terkejut karena rupanya besok ada ulangan. Tapi jawaban Karel lebih mengejutkan.
Read more…CODA
Ruby, tokoh utama dalam film ini, adalah seorang gadis remaja dari sebuah keluarga Tuli (tunarungu). Ayah, ibu, dan kakak laki-laki Ruby Tuli. CODA sendiri merupakan singkatan dari “child of deaf adults”. Mereka sekeluarga berkomunikasi dengan menggunakan American Sign Language (ASL). Meski lahir dalam keluarga Tuli, Ruby memiliki bakat menyanyi. Frank dan Leo – ayah dan kakak Ruby – bekerja sebagai nelayan.
Kehidupan nelayan yang memang keras, mendapat tantangan ekstra ketika Frank dan Leo mencoba mengorganisir koperasi untuk nelayan. Demi terwujudnya koperasi tersebut diperlukan lebih banyak lagi komunikasi, yang selama ini memang banyak dijembatani oleh Ruby sebagai penerjemah. Di sisi lain, Ruby mendapat kesempatan untuk melakukan audisi masuk sekolah musik dan memerlukan waktu ekstra untuk berlatih.
Read more…Fritz Haber
Mungkin tidak banyak di antara kita yang tahu siapa Fritz Haber. Saya juga selama ini tidak tahu. Saya baru tahu minggu lalu, setelah dijelaskan anak lanang.
Vaksinasi Lansia, Pendataan, dan Kerumitannya
Kemarin sudah tuntas keempat orang tua kami menjalani program vaksinasi COVID-19. Mereka mendapatkan vaksin di dua RS yang berbeda. Dari sedikit keterlibatan kami dalam proses yang berlangsung 1 bulan lebih itu (dari pendaftaran hingga tuntasnya vaksinasi yang kedua), ada beberapa hal yang saya catat.
Pendaftaran
Pendaftaran dilakukan secara elektronik dengan mengisi form online. Form online menggunakan produk Google. Ini sempat membuat kami bertanya-tanya apakah ini benar form yang resmi, karena data yang diisikan adalah data pribadi. Ternyata itu adalah form resmi.
Pengisian form membutuhkan ketelitian dan kecepatan (karena ternyata ada kuota – form ditutup saat kuota tahap 1 vaksinasi terpenuhi). Ini bisa menyulitkan warga lansia yang tidak terbiasa menggunakan produk teknologi informasi, terlebih jika mereka tidak memiliki anggota keluarga yang mendampingi atau membantu.
Situasi RS dan Pelaksanaan Vaksinasi
Tiap RS bisa berbeda prosedur pelaksanaan vaksinasinya. Di RS tempat mertua saya divaksinasi (sebut saja RS A), ada petugas satpam yang secara khusus melayani pengambilan nomor antrian. Nantinya satpam tersebut pula yang akan memanggil pasien berdasarkan nomor. Di RS tempat orang tua saya divaksinasi (sebut saja RS B), ada satpam yang melayani pengambilan nomor antrian untuk aneka macam layanan. Nantinya pemanggilan no urut antrian dilakukan oleh perawat di tempat terpisah.
Ruang pelaksanaan vaksinasi RS A berada di ruang basement yang terbuka tanpa AC. Sedangkan di RS B pelaksanaan vaksinasi ada di dalam gedung RS, dekat ruang IGD, dan dalam ruang tertutup berAC. Menurut saya, ruang tunggu RS A relatif lebih aman.
Di RS lain, ada yang mengirimkan pesan pendek (via SMS/WA) mengenai jadwal jam pelayanan vaksinasi pada H-1. Dengan demikian pada hari H, pasien dapat datang pada jam yang disebutkan dan tidak perlu mengantri dari pagi. Kebetulan baik di RS A maupun RS B tidak ada layanan seperti ini, sehingga pasien harus mengambil nomor antrian dari pagi lalu menunggu hingga dilayani. Pasien yang menunggu bisa mencapai puluhan/ratusan.
Di RS A, pada vaksinasi pertama dokter yang melayani vaksinasi ada satu orang saja, pada vaksinasi kedua ada dua orang dokter. Penyuntikan dilakukan di dekat area pendaftaran dan skrining. Di RS B, pada vaksinasi pertama dan kedua dokter yang melayani vaksinasi hanya satu orang. Penyuntikan dilakukan di ruang dokter yang tertutup dan berAC.
Masalah Data dan Aplikasi Peduli Lindungi
Sebelum vaksinasi pertama dilakukan, saya sudah membantu mereka untuk menginstall aplikasi Peduli Lindungi ke ponsel mereka. Instalasi disertai dengan pengisian data. Pengisian data tidak mudah, karena ada beberapa bagian form isian yang sulit dijangkau (tersembunyi – ukuran form tidak menyesuaikan ukuran layar perangkat).
Setelah data terisi, kami mendapati bahwa status mereka dalam aplikasi Peduli Lindungi “tidak terdaftar”, meski pada kenyataannya saat itu data mereka sudah diisikan pada form pendaftaran (yang saya jelaskan di awal tadi). Baru setelah vaksinasi pertama, data kedua mertua saya muncul dalam aplikasi tersebut. Beda halnya dengan data kedua orang tua saya, yang bahkan hingga setelah selesai vaksinasi kedua tetap tidak muncul dalam aplikasi.
Dari pengalaman orang-orang lain yang telah mengikuti vaksinasi, kami tahu bahwa dari aplikasi bisa diunduh sertifikat vaksinasi. Mertua saya mendapatkannya dari link yang dikirimkan via SMS, tidak melalui aplikasi. Sedangkan orang tua saya tidak bisa mendapatnya, karena data pendaftaran saja tidak muncul di dalamnya, mereka juga belum menerima SMS/WA. Dengan demikian, satu-satunya bukti bahwa mereka telah menerima vaksinasi hanya kartu vaksinasi yang ditulis tangan. Sempat ada kesalahan tulis data pada kartu vaksinasi orang tua saya. Koreksi juga dilakukan secara manual: coret lalu tulis ulang.
Saya sempat bertanya pada petugas di RS B mengenai mengapa data orang tua saya tidak muncul pada aplikasi Peduli Lindungi. Petugas menjelaskan bahwa data dalam aplikasi tersebut belum tentu valid. Lebih jauh lagi, ia menunjukkan bahwa data ayah saya tidak muncul pada aplikasi vaksinasi PCare BPJS Kesehatan, meskipun kedua orang tua saya terdaftar sebagai anggota dan pernah menggunakan layanannya sebelumnya. Kasus ini terjadi pada banyak pasien vaksinasi.
Saya membayangkan betapa rumitnya pengolahan datanya nanti jika seperti ini.. Ini masih di kota besar. Bagaimana dengan di pelosok sana? PR besar untuk pengelola data kesehatan kita.
Di ujung tulisan ini, ada satu hal yang ingin saya garisbawahi: program vaksinasi ini adalah kegiatan yang luar biasa. Melibatkan banyak orang dengan aneka peran dan tanggung jawab masing-masing serta melibatkan pertukaran data dan koordinasi antar lembaga besar. Dengan segala kekurangan yang ada, bahwa program ini bisa berlangsung sampai saat ini, seluruh pihak yang terlibat patut mendapatkan apresiasi dan dukungan termasuk kritik dan saran, dengan disertai harapan program ini bisa tuntas hingga akhir.
Percaya pada Tuhan
Anak lanang tidak tertarik ikut Sekolah Minggu. Dulu waktu usia PG/KB ia pernah ikut SM barang beberapa kali. Tapi kemudian ia bilang tidak lagi mau ikut SM. Alasan dia cukup masuk akal buat kami: menurut dia kakak-kakaknya SM banyak yang nakal, dia kuatir jadi ikut nakal. “Kakak” yang dia maksud di sini bukan kakak guru SM, tapi istilah buat teman-temannya sesama murid SM, kebetulan memang dia termasuk yang paling muda di situ. Duh, kayak dia nggak ada nakal-nakalnya aja..
Kami menerima alasan dia itu. Sebagai gantinya ia bersedia ikut kebaktian dewasa. Ketika dia masuk kelas 1 SD, kami tawari lagi untuk ikut SM, dia sempat bersedia ikut beberapa kali bahkan sempat ikut acara Natal SM. Tapi sesudah itu dia tidak mau lagi, dengan alasan yang sama dengan sebelumnya.
Akhirnya kami membuat kesepakatan. Dia tetap ikut kebaktian dewasa dan dia harus mencatat ayat yang dibacakan dan ringkasan khotbah – tentu saja sejauh pemahaman dia. Jika dia tidak lagi mau mencatat, dia harus berangkat ke SM. Maka demikianlah yang berlangsung hingga hari ini, termasuk ketika tiap Minggu kami mengikuti ibadah secara virtual.
Catatannya menarik, meski tulisan tangannya tidak (duh..). Kami kadang malah merasa belajar sesuatu dari catatan dia, melihat dari sudut pandang anak-anak.
Ada satu atau dua catatan yang isinya ringkas saja: “tidur mohon maaf”. Itu ceritanya dia ngantuk berat, malamnya susah tidur, terus minta izin pada kami untuk tidur waktu khotbah (mohon dimaapkan Pak/Bu Pendeta).

Ada banyak kali ketika ia merasa isi khotbah agak rumit dan ia enggan berupaya mencerna isinya sebisanya, ia menuliskan catatan sederhana saja yang intinya: “kita harus percaya pada Tuhan”. Saking seringnya ini terjadi, kadang sampai kami kasih peringatan, “Nanti nulisnya jangan ‘kita harus percaya pada Tuhan’ lho. Dengerin dulu baik-baik khotbahnya, baru ditulis yang lebih jelas.”
Tapi hari-hari ini saya memikirkan lagi dan mendapati betapa benar catatan dia yang super sederhana itu: “kita harus percaya pada Tuhan”. Di masa yang tak mudah untuk dijalani ini, betapa kita semua diingatkan lagi untuk tetap percaya kepadaNya, percaya pada perlindungan dan penyertaanNya.
Terimakasih Nak.
Ketika Anak Memilih Pemimpin
Di kelas anak saya, ketua kelas dan wakilnya dipilih dua minggu sekali. Keduanya dipilih berselang-seling pasangan cowok dan pasangan cewek; misalnya minggu ini cowok-cowok, dua minggu lagi cewek-cewek. Bagi yang sudah pernah terpilih menjadi ketua kelas, tidak boleh dipilih lagi. Sedangkan yang sudah pernah jadi wakil ketua kelas, masih boleh dipilih lagi pada kesempatan berikutnya. Cara memilihnya sederhana saja: setiap anak menentukan pilihannya (boleh memilih diri sendiri juga), calon dengan suara terbanyak menjadi ketua, yang kedua terbanyak menjadi wakil ketua.
Namanya anak-anak, cara menentukan pilihannya ya sederhana saja: yang dipilih bisa teman baiknya, atau yang dianggap pintar, atau yang dianggap lucu atau keren. Terserah mereka, siapapun yang mereka anggap layak untuk jadi ketua kelas. Siapapun yang terpilih, semua senang, menikmati prosesnya. Gurunya juga tidak mengarahkan, siapa yang sebaiknya dipilih: “oh itu saja, dia anak guru, pas jadi ketua kelas”, atau “dia saja yang dipilih, anaknya baik dan sopan”. Setidaknya itu yang saya tangkap dari cerita anak saya.
Kemarin saya tanya ke anak saya, “Emang banyak yang pengen jadi ketua kelas?”
“Lho, SEMUA ANAK itu pengen jadi ketua kelas!” sahut dia.
“Emang kenapa kok pada mau jadi ketua kelas?”
“Soalnya bisa suruh-suruh yang lain.”
Maksudnya bisa kasih aba-aba berbaris saat mau masuk kelas, itu bagi mereka sesuatu yang keren, hehehehe..
Pada akhirnya, dengan cara yang mereka gunakan, saya rasa setiap anak – siapapun dia – akan memperoleh kesempatan menjadi ketua kelas, mencoba merasakan memimpin dalam skala kecil. Pengalaman yang menyenangkan buat mereka.
Mendadak ke Australia
Semua bermula dari keisengan belaka.
Suatu hari di bulan April 2016, saya mendapat informasi tentang acara HIMAA NCCH 2016 National Conference yang diadakan di Melbourne, Australia. Ada satu hal yang menarik dalam informasi yang saya baca: ada tawaran sponsorship bagi presenter paper yang naskahnya diterima. Sponsorship akan dapat digunakan untuk membiayai transportasi, akomodasi, dan biaya pendaftaran acara.
Saya, yang seumur-umur belum pernah menulis abstrak ilmiah untuk dikirimkan ke acara seminar, memberanikan diri menulis sebentuk abstrak. Saya memaparkan proses pengembangan dan implementasi bridging system SIMPUS dan PCare. Akhir Mei naskah saya nyatakan siap dan saya kirimkan. Saya juga melengkapi berbagai persyaratan yang diminta panitia. Setelah itu, saya pasrah dan bisa dibilang melupakan soal ini.
Hingga akhirnya kabar kejutan saya terima di awal Juli 2016. Saya mendapat email yang menyatakan naskah saya diterima, dan saya diminta memaparkannya dalam bentuk poster. Saya berkirim email dengan panitia untuk mendapat rincian informasi yang saya butuhkan. Dan petualangan dimulai.
Beberapa keputusan mesti diambil terlebih dahulu, seperti misalnya dalam soal: anak dan istri akan ikutkah (meski ini alasan utama perjalanan ini adalah urusan acara seminar ilmiah, ya konyol aja kalau tidak sekalian berwisata singkat, betul atau betul?) dan kapan tanggal persisnya berangkat dan pulang. Saya dan istri memutuskan bahwa istri akan ikut berangkat (orang menyebutnya hanimun, dan kami biasanya hanya senyum-senyum saja, tidak mengiyakan atau menolak), namun anak tidak, karena ia bersekolah dan ia akan terlalu lama meninggalkan sekolah bila ia ikut. Bantuan datang dari kedua pasang orang tua kami yang menyanggupi secara bergantian akan mendampingi anak kami selama kami pergi. Setelah bantuan ada, tanggal berangkat dan pulang kami putuskan.
Kebetulan ada kerabat kami yang tinggal di Melbourne, yang dengan girang menyambut rencana perjalanan kami dan menawarkan segenap bantuan yang bisa mereka berikan. Dalam pengurusan visa, kami mendapat bantuan dari banyak orang, berupa surat-surat rekomendasi yang dibutuhkan.
Setelah semua urusan akomodasi dan transportasi tuntas, tinggallah urusan utamanya: membuat poster. Selain poster, saya juga berkeinginan membuat satu naskah yang berisi penjelasan yang lebih lengkap tentang topik yang akan saya presentasikan. Bantuan dari teman dan kerabat amat memperlancar proses ini. Naskah saya yang amburadul dipermak agar lebih layak baca. Rancangan poster yang sempat saya buat, akhirnya juga dirancang ulang agar lebih menarik dan mudah disimak. Menjelang waktu keberangkatan, semuanya siap.
Bahkan hingga kami tiba di bandara untuk berangkat, saya masih terus meyakinkan diri bahwa rencana perjalanan ini nyata adanya dan bukan sekedar rencana gila. Pesawat mendarat selamat di tujuan, dan saya yakin bahwa ini buah karya Sang Maha Perencana yang Jenaka.
Perjalanan dan pemaparan saya berlangsung lancar, semuanya atas bantuan banyak pihak.
Terimakasih pada HIMAA NCCH yang berkenan mengundang saya untuk hadir dan menyampaikan paparan di sana.
Terimakasih pada kedua pasang orang tua kami yang bersedia berkorban waktu dan tenaga mendampingi cucu mereka selama kami pergi.
Terimakasih pada Icha dan Dion yang sudah mempermak habis naskah amburadul yang saya buat, yang sudah menyiapkan surat rekomendasi, dan yang kemudian memandu perjalanan kami, juga menyediakan tempat bagi kami untuk menginap.
Terimakasih pada Mas Jojok, tim Kinaryatama Raharja, dan tim Kunang yang memberikan dukungan informasi, foto, dan semangat.
Terimakasih pada Sinang, yang bersedia saya ganggu hari-harinya dengan urusan penyusunan poster.
Terimakasih pada Pak Judhi Pramono, yang berkenan memberikan surat rekomendasi yang berharga.
Obrolan Anak Lelaki dan Ayahnya
Hubungan antara anak lelaki dan ayahnya tidak jarang seperti hubungan antara dua bocah lelaki, hanya saja yang satunya punya trik dan pengalaman lebih banyak. Kadar keisengan antara keduanya tak jauh beda, hal-hal yang diminatinya juga mirip-mirip saja, misalnya seputar mainan.
Baru saja saya ngobrol panjang dengan anak lanang saya. Bermula dari soal kerennya Lego Bionicle, berlanjut dengan soal Kungfu Panda 3 dan cerita dia soal pertemanan di sekolahnya, dan diakhiri dengan doa Bapa Kami bersama #eh 🙂
Sebelum tidur dia bilang, “Asyik ya ngobrol kayak gini sama Papi..”
Saya juga bilang, “Memang asyik..”
Dia bilang, “Tapi kalo besok kayaknya Papi gak bisa, kan Papi kerja..” (belakangan ini memang saya punya pekerjaan yang harus dikerjakan sampai malam)
Dia lanjutkan, “Mungkin bisa lagi minggu depan.” (maksudnya Sabtu – Minggu depan)
Saya jawab, “Ok!”
Obrolan seperti tadi memang bukan kejadian satu-satunya. Juga bukan kejadian yang jarang terjadi. Tapi komentar dia soal asyik itu memang baru sekali ini terucap. Dan itu menyentuh hati saya #eh
Kita akan ngobrol banyak lagi anakku. Masih ada banyak hal yang kita bisa obrolkan bersama. Soal mainan, soal buku (kalo ini sih kesukaan Papi ya..), soal keisengan-keisengan yang mungkin bisa kita lakukan bersama (dan mungkin bikin Mami ngomel-ngomel, hehehe), dan banyaaaaak soal lain, termasuk soal cewek (suatu hari nanti ya…).
Sekarang tidurlah dahulu, keasyikan sehari di sekolah sudah menantimu esok hari.