Archive

Posts Tagged ‘anak’

Fritz Haber

Mungkin tidak banyak di antara kita yang tahu siapa Fritz Haber. Saya juga selama ini tidak tahu. Saya baru tahu minggu lalu, setelah dijelaskan anak lanang.

Read more…

Categories: anak, keluarga Tags: , ,

Desmond Doss

Suatu hari anak lanang bercerita mengenai sosok Desmond Doss. Doss adalah seorang prajurit Amerika Serikat yang ikut dalam Perang Dunia II di arena Pasifik. Ia menolak membawa senjata dalam perang mengikuti imannya sebagai penganut Kristen Adven yang melarangnya membunuh, termasuk dalam situasi perang. Dalam perang ia berperan sebagai prajurit medis. Sosoknya dikenal makin luas setelah diceritakan dalam film Hacksaw Ridge.

Anak lanang memang meminati topik Perang Dunia II. Saya lalu bertanya darimana ia tahu mengenai sosok Desmond Doss. Ia menjawab dari channel sejarah di Youtube. Channel ini memaparkan aneka topik sejarah dalam bentuk animasi sederhana. Kengerian perang tetap digambarkan, meski dalam bentuk animasi. Yang bagi saya menarik, dia tertarik pada sosok Doss karena atributnya sebagai “prajurit tapi nggak mau bawa senjata”.

Awal bulan ini, gurunya memberi tugas pada semua anak untuk menyiapkan paparan singkat mengenai seorang tokoh, boleh tokoh apa saja. Waktu pemaparan singkat saja, 10 menit. Ada temannya yang memaparkan sosok James Naismith (penemu permainan bola basket), temannya lain lagi memilih memaparkan sosok ibunya. Tugas yang sederhana tapi bisa memunculkan sosok-sosok yang “tidak biasa”. Saya mengusulkan padanya untuk memaparkan mengenai Desmond Doss. Ia menyambut usul saya dengan penuh semangat.

Ia mulai mengumpulkan bahan tulisan dan gambar untuk diolah jadi bahan paparan. Dari bahan yang terkumpul, saya memandu dia untuk menentukan topik-topik yang mau dipaparkan, seperti latar belakang Doss, mengapa ia menolak membawa senjata, dan apa yang terjadi di Okinawa. Penentuan topik dia susun sendiri, beserta teks singkatnya. Berkas paparan dia buat sendiri, gambar dan teks ia atur sendiri peletakannya. Saya memberi masukan mengenai penulisan ejaan yang salah.

Pada hari paparan, ia milih mojok sendiri di kamar lain, tidak mau terlihat oleh kami waktu ia menyampaikan paparan. Tapi ibunya nguping dong 🙂 Kata istri, ia lancar dalam menyampaikan paparan, cukup jelas bagi guru dan teman-temannya harusnya.

Percaya pada Tuhan

Anak lanang tidak tertarik ikut Sekolah Minggu. Dulu waktu usia PG/KB ia pernah ikut SM barang beberapa kali. Tapi kemudian ia bilang tidak lagi mau ikut SM. Alasan dia cukup masuk akal buat kami: menurut dia kakak-kakaknya SM banyak yang nakal, dia kuatir jadi ikut nakal. “Kakak” yang dia maksud di sini bukan kakak guru SM, tapi istilah buat teman-temannya sesama murid SM, kebetulan memang dia termasuk yang paling muda di situ. Duh, kayak dia nggak ada nakal-nakalnya aja..

Kami menerima alasan dia itu. Sebagai gantinya ia bersedia ikut kebaktian dewasa. Ketika dia masuk kelas 1 SD, kami tawari lagi untuk ikut SM, dia sempat bersedia ikut beberapa kali bahkan sempat ikut acara Natal SM. Tapi sesudah itu dia tidak mau lagi, dengan alasan yang sama dengan sebelumnya.

Akhirnya kami membuat kesepakatan. Dia tetap ikut kebaktian dewasa dan dia harus mencatat ayat yang dibacakan dan ringkasan khotbah – tentu saja sejauh pemahaman dia. Jika dia tidak lagi mau mencatat, dia harus berangkat ke SM. Maka demikianlah yang berlangsung hingga hari ini, termasuk ketika tiap Minggu kami mengikuti ibadah secara virtual.

Catatannya menarik, meski tulisan tangannya tidak (duh..). Kami kadang malah merasa belajar sesuatu dari catatan dia, melihat dari sudut pandang anak-anak.

Ada satu atau dua catatan yang isinya ringkas saja: “tidur mohon maaf”. Itu ceritanya dia ngantuk berat, malamnya susah tidur, terus minta izin pada kami untuk tidur waktu khotbah (mohon dimaapkan Pak/Bu Pendeta).

Ada banyak kali ketika ia merasa isi khotbah agak rumit dan ia enggan berupaya mencerna isinya sebisanya, ia menuliskan catatan sederhana saja yang intinya: “kita harus percaya pada Tuhan”. Saking seringnya ini terjadi, kadang sampai kami kasih peringatan, “Nanti nulisnya jangan ‘kita harus percaya pada Tuhan’ lho. Dengerin dulu baik-baik khotbahnya, baru ditulis yang lebih jelas.”

Tapi hari-hari ini saya memikirkan lagi dan mendapati betapa benar catatan dia yang super sederhana itu: “kita harus percaya pada Tuhan”. Di masa yang tak mudah untuk dijalani ini, betapa kita semua diingatkan lagi untuk tetap percaya kepadaNya, percaya pada perlindungan dan penyertaanNya.

Terimakasih Nak.

Bangkit

Siang tadi, anak lanang mengikuti sebuah lomba. Lombanya adalah menyusun balok Lego menjadi suatu bentuk alat untuk memenuhi misi tertentu. Kali ini misinya adalah untuk membawa bola ping-pong sebanyak mungkin dan mampu merobohkan sejumlah tiang yang tersedia. Alat dirancang tiap peserta, bentuk bebas, dengan bimbingan pengajar. Hasil lomba penting, namun yang lebih penting adalah proses dan pengalaman yang dijalani saat persiapan dan juga saat jalannya perlombaan.

Tiap peserta diberi waktu untuk membangun alat sesuai rancangan mereka, dan diberi kesempatan sebanyak tiga kali untuk menguji kerjanya alat, sebelum nantinya diberi dua kali kesempatan untuk menjalankan alat sambil dinilai. Pada kali pertama ujicoba, alat bikinan anak lanang berfungsi baik, namun masih tersedia ruang untuk perbaikan. Demikian pula pada ujicoba kedua kali. Namun, saat mengusung alat setelah ujicoba kedua, sepertinya dia membawanya kurang berhati-hati, alat jatuh dan hancur berkeping-keping.

Bikin alat

Hancur

Kami selaku orang tua mengamati dari jauh dari awal, dan tetap demikian ketika “masalah” terjadi. Rupanya dia tetap tenang, mengumpulkan kembali balok-balok Lego yang berceceran, dan mulai membangun lagi alatnya. Tidak tampak dia celingukan mencari “dukungan mental” dari kami. Masalah ia hadapi dan tangani sendiri. Alat terangkai kembali, dan dia mengambil kesempatan untuk mengujicoba lagi alatnya.

Bikin lagi

Alat dijalankan, dinilai. Dia menunggu pengumuman lomba dengan santai, mendapati bahwa dia tidak termasuk di jajaran pemenang, pulang tetap dengan hati riang.

=====

Hidup tak selalu berjalan sebagaimana direncanakan. Masalah bisa terjadi dari arah yang tidak kita sangka dan antisipasi. Hal yang penting setelah masalah terjadi adalah bagaimana kita bisa bangkit lagi.

Kami senang melihatnya bisa tenang menghadapi “masalah besar” saat lomba tengah berlangsung. Alat dibangun lagi, malah dengan sedikit improvisasi.

Setiap masalah adalah latihan Nak, latihan untuk menghadapi masalah yang mungkin lebih besar lagi. Mungkin tidak selalu kita bisa menghadapinya dengan tenang. Tak apa gelisah sebentar, menenangkan diri juga bagian dari pelajaran hidup.

Selamat menjalani petualangan selanjutnya.

Categories: anak, kehidupan Tags: , , ,

Ketika Anak Memilih Pemimpin

Di kelas anak saya, ketua kelas dan wakilnya dipilih dua minggu sekali. Keduanya dipilih berselang-seling pasangan cowok dan pasangan cewek; misalnya minggu ini cowok-cowok, dua minggu lagi cewek-cewek. Bagi yang sudah pernah terpilih menjadi ketua kelas, tidak boleh dipilih lagi. Sedangkan yang sudah pernah jadi wakil ketua kelas, masih boleh dipilih lagi pada kesempatan berikutnya. Cara memilihnya sederhana saja: setiap anak menentukan pilihannya (boleh memilih diri sendiri juga), calon dengan suara terbanyak menjadi ketua, yang kedua terbanyak menjadi wakil ketua.

Namanya anak-anak, cara menentukan pilihannya ya sederhana saja: yang dipilih bisa teman baiknya, atau yang dianggap pintar, atau yang dianggap lucu atau keren. Terserah mereka, siapapun yang mereka anggap layak untuk jadi ketua kelas. Siapapun yang terpilih, semua senang, menikmati prosesnya. Gurunya juga tidak mengarahkan, siapa yang sebaiknya dipilih: “oh itu saja, dia anak guru, pas jadi ketua kelas”, atau “dia saja yang dipilih, anaknya baik dan sopan”. Setidaknya itu yang saya tangkap dari cerita anak saya.

Kemarin saya tanya ke anak saya, “Emang banyak yang pengen jadi ketua kelas?”

“Lho, SEMUA ANAK itu pengen jadi ketua kelas!” sahut dia.

“Emang kenapa kok pada mau jadi ketua kelas?”

“Soalnya bisa suruh-suruh yang lain.”

Maksudnya bisa kasih aba-aba berbaris saat mau masuk kelas, itu bagi mereka sesuatu yang keren, hehehehe..

Pada akhirnya, dengan cara yang mereka gunakan, saya rasa setiap anak – siapapun dia – akan memperoleh kesempatan menjadi ketua kelas, mencoba merasakan memimpin dalam skala kecil. Pengalaman yang menyenangkan buat mereka.

Obrolan Anak Lelaki dan Ayahnya

Hubungan antara anak lelaki dan ayahnya tidak jarang seperti hubungan antara dua bocah lelaki, hanya saja yang satunya punya trik dan pengalaman lebih banyak. Kadar keisengan antara keduanya tak jauh beda, hal-hal yang diminatinya juga mirip-mirip saja, misalnya seputar mainan.

Baru saja saya ngobrol panjang dengan anak lanang saya. Bermula dari soal kerennya Lego Bionicle, berlanjut dengan soal Kungfu Panda 3 dan cerita dia soal pertemanan di sekolahnya, dan diakhiri dengan doa Bapa Kami bersama #eh 🙂

Sebelum tidur dia bilang, “Asyik ya ngobrol kayak gini sama Papi..”

Saya juga bilang, “Memang asyik..”

Dia bilang, “Tapi kalo besok kayaknya Papi gak bisa, kan Papi kerja..” (belakangan ini memang saya punya pekerjaan yang harus dikerjakan sampai malam)

Dia lanjutkan, “Mungkin bisa lagi minggu depan.” (maksudnya Sabtu – Minggu depan)

Saya jawab, “Ok!”

Obrolan seperti tadi memang bukan kejadian satu-satunya. Juga bukan kejadian yang jarang terjadi. Tapi komentar dia soal asyik itu memang baru sekali ini terucap. Dan itu menyentuh hati saya #eh

Kita akan ngobrol banyak lagi anakku. Masih ada banyak hal yang kita bisa obrolkan bersama. Soal mainan, soal buku (kalo ini sih kesukaan Papi ya..), soal keisengan-keisengan yang mungkin bisa kita lakukan bersama (dan mungkin bikin Mami ngomel-ngomel, hehehe), dan banyaaaaak soal lain, termasuk soal cewek (suatu hari nanti ya…).

Sekarang tidurlah dahulu, keasyikan sehari di sekolah sudah menantimu esok hari.

Categories: anak, kehidupan, keluarga Tags: ,

Membetulkan mainan milik anak lanang..

Salah satu mainan kereta kesayangan anak saya suatu hari beberapa bulan yang lalu mendadak mati. Seperti mainan rusak yang lain, ia langsung membawa kereta yang tewas tersebut pada tukang reparasi andalannya (walau sebenarnya cuma tukang reparasi abal-abal): saya. Yang saya coba lakukan sebenarnya biasa saja: membongkarnya, lalu mencari bagian yang tampaknya kurang pas atau macet, dan mengembalikannya pada tempat yang sepertinya tepat. Biasanya itu saja berhasil.

Namun kali ini tidak.

Saya tak kunjung bisa membongkar hingga masuk ke dalam blok mesin (halah). Blok mesin terbungkus plastik keras yang rapat. Kait-kait yang biasanya nampak jelas kali ini samar. Setelah kehabisan akal, mainan rusak itu saya simpan dalam sebuah wadah dalam kondisi setengah terbongkar, menunggu “wangsit” suatu hari nanti untuk mencoba membongkar lagi.

Beberapa bulan kemudian, yaitu siang tadi, wadah berisi kereta setengah terbongkar itu disodorkan anak saya pada saya. Rupanya ia teringat kembali pada mainan kesayangan yang rusak itu, dan menagih janji saya untuk memperbaikinya. “Nanti malam ya,” kata saya.

Dua jam lalu, mainan itu saya keluarkan dari wadahnya, lalu saya coba lihat lagi, mencari cara membongkarnya. Berbeda dari biasanya, tampak ada bagian yang sepertinya direkatkan dengan lem. Istri saya yang biasanya lebih jeli dengan barang-barang berukuran mini, saya minta bantu memastikan. Bagian yang direkatkan itu dicoba dilepas paksa. Rupanya benar, bisa dilepas. Beberapa roda bergerigi lepas dari tempatnya. Sambungan yang terpatri saya lepas sekalian, agar blok mesin plastiknya terbuka sekalian. Roda-roda bergerigi yang kotor saya bersihkan. Bagian yang terpasang kurang pas saya betulkan letaknya. Lalu semuanya saya coba rakit ulang. Memang yang namanya membongkar biasanya lebih mudah daripada memasang lagi. Apalagi tidak ada petunjuknya.

Sayangnya saya tidak mengambil foto saat semua komponen terbongkar. Maklum, lagi setengah panik. “Bisa masang lagi nggak nih?” Hehehe..

Singkat cerita, mainan kembali terpasang. Pelanggan puas. Sampai jumpa pada kunjungan berikutnya..

1 2 3

Categories: anak, keluarga Tags: , ,

Ketika anak ingin bersekolah..

Anak bermain

Anak kami, Karel, berusia 3,5 tahun saat ini. Sudah sejak dia berusia kurang dari 2 tahun kami sering mendapat pertanyaan: Karel sudah (/belum/tidak) disekolahkan? Kami berencana untuk menyekolahkan dia langsung ke TK, tidak melalui Kelompok Bermain (KB). Mengapa? Karena kami berpandangan bahwa – dalam kadar yang mungkin berbeda – tanpa harus bersekolah di KB, Karel bisa mendapatkan apa yang akan didapatkannya di KB: teman bermain (kami orang tuanya, pengasuhnya, dan sejumlah anak-anak tetangga), pengenalan berbagai hal seperti: fauna (dengan pergi ke kebun binatang), mengenal bentuk-bentuk geometris (melalui berbagai bentuk permainan di rumah), pengenalan alfabet dan angka (melalui berbagai buku anak-anak yang kami punya di rumah, termasuk buku masa kecil saya dulu), pengenalan tempat dan hal baru (dengan bepergian bersama ke luar kota, ke tempat baru), belajar mandiri (makan dan berpakaian sendiri misalnya). Menurut kami, KB baik, namun tetap dengan beberapa kelemahan, seperti: anak dapat dengan mudah meniru hal-hal tidak baik dari temannya (berantem, berkata tidak baik, dll) karena bagaimanapun pengawasan guru di KB tetap terbatas. Selain itu, di KB anak lebih rentan tertular penyakit, pada masa sistem kekebalan tubuhnya belum mapan terbangun. Sedari mula akan menikah, kami memang telah menyiapkan diri dengan berniat untuk bekerja di rumah, agar dapat mengawasi dan membesarkan anak kami sendiri.

Namun beberapa minggu yang lalu, Karel bilang bahwa ia mau sekolah. Ketika ditanya lebih lanjut, ia bilang bahwa ia mau bersekolah di tempat yang mainannya banyak. Kami merasa bahwa ini mungkin memang waktunya bagi dia untuk sekolah. Dia sudah menyatakan kebutuhannya untuk bermain (dan mungkin bersosialisasi) di arena yang lebih luas. Maka mulailah kami berburu sekolah..

Kami mungkin adalah orang tua yang “aneh-aneh”, memilah dan memilih berbagai KB dengan banyak kriteria kami sendiri. Misalnya: berbahasa pengantar Indonesia (karena bagaimanapun kami tinggal di Indonesia, dan masih akan berhubungan dengan banyak orang Indonesia), tempat bermain outdoor yang cukup luas (pesanan Karel), kelas relatif kecil dengan jumlah guru pendamping yang cukup, tidak memaksakan mengajarkan anak untuk baca tulis (mengenalkan sih boleh, toh kami juga sudah mengenalkannya di rumah), relatif heterogen dalam hal suku (untuk mengajarkannya hidup berdampingan dengan keragaman budaya), bersih (kami memeriksa kondisi kelas dan toiletnya), dan relatif aman (sebisa mungkin ada gerbang berlapis, dengan ada halaman yang cukup luas sebelum terjumpa jalan raya), sebisa mungkin hanya berlantai satu (alasan keamanan, karena keterbatasan kemampuan pengawasan guru). Kami juga lebih menyukai sekolah yang memberi kesempatan pada calon murid dan orang tuanya untuk melihat terlebih dahulu kegiatan sekolah tersebut sebelum akhirnya si murid didaftarkan di situ.

Istri saya mengunjungi beberapa sekolah untuk melihat situasi fisik dan non-fisiknya. Tiap kali ia pulang ke rumah, Karel bertanya, “Sudah dapat sekolah yang mainannya banyak, Mami?” Akhirnya dari beberapa kunjungan istri saya, kami menyusun daftar sekolah yang akan dikunjungi kembali, bersama saya dan Karel.

Menurut kami, memilih sekolah bukan sekedar melihat dan membandingkan isi kurikulum, daftar kegiatan, juga daftar biayanya. Kami mencoba mengamati sikap guru dalam berbagai situasi (bagaimana bila ada anak yang nakal, ada anak baru, ada anak yang masih takut-takut, dsb). Dalam soal ini saja, kami mendapati sikap dan tanggapan yang beragam. Ada yang menerima dengan baik, tiap guru yang berpapasan menyapa si anak, meskipun jelas ia masih calon murid, belum tentu masuk ke KB itu. Ada yang menerima dengan biasa-biasa saja, sekedar melihat dari jauh kehadiran kami, tanpa usaha menyapa dan mengajak berbincang. Kami juga mengamati bagaimana staf administrasi sekolah bekerja. Ada yang menjanjikan untuk menghubungi pada sekian hari ke depan untuk menginformasikan ketersediaan kelas trial, namun hingga sekarang belum ada kabar apa-apa.

Dari semua hal yang kami amati dan kami pertimbangkan itu, kami akhirnya memutuskan untuk memasukkan Karel ke kelas trial di sebuah sekolah. Jauh dari tempat tinggal kami, tapi menurut kami, dari banyak sisi, sekolah tersebut lebih baik dibanding sekolah-sekolah lainnya.

Ini pengalaman kami, bagaimana pengalaman Anda?

Anak dan Dokter Gigi

Di rumah kami yang mungil, tidak sedikit sore dan malam hari di mana istri saya berbagi cerita tentang berbagai kasus yang dihadapinya di ruang prakteknya bersama pasien-pasien yang tanpa nama itu (tanpa nama bagi saya, pasien dengan nama bagi dia). Dari banyak kisah yang diceritakannya, saya melihat bahwa kasus gigi pada anak membutuhkan tindakan dengan pertimbangan akan paling mendatangkan manfaat bagi diri si anak dalam jangka panjang.

Mari kita lihat contoh satu kasus ini.

Seorang anak didampingi ayah dan ibunya masuk ke ruang praktek. Keluhannya adalah gigi susunya ‘kesundulan’. Ini kasus yang banyak dijumpai pada anak-anak, di mana gigi permanen sudah mendesak hendak keluar, sedangkan gigi susu masih melekat kuat belum goyah sedikitpun. Biasanya dokter gigi (terlebih dokter gigi anak) akan memberikan saran agar gigi susu itu digoyang-goyang sendiri di rumah, hingga goyah dan akhirnya lepas sendiri. Gigi ‘kesundulan’ tersebut biasanya disebabkan oleh pertumbuhan rahang yang kurang sehingga rahang tidak dapat menampung gigi permanen yang menggantikan gigi susu tersebut. Perlu diperhatikan di sini bahwa gigi permanen ukurannya lebih besar dari gigi susu. Makan makanan yang keras (misalnya buah apel yang dipotong potong, bukan di jus), bisa membantu merangsang pertumbuhan rahang. Jika pertumbuhan rahang selaras dengan besar gigi yang tumbuh maka diharapkan tidak terjadi lagi gigi susu ‘kesundulan’. Jika gigi susu ‘kesundulan’ tadi, setelah digoyang-goyang tidak dapat lepas sendiri, mungkin perlu bantuan dokter gigi untuk membantu melepasnya.

Dapat dibayangkan kegundahan hati si anak ketika ia diberitahu bahwa giginya hendak dicabut. Jangankan dicabut, untuk duduk di kursi gigi dan diperiksa giginya saja banyak anak yang sudah merasa gentar. Jangankan anak-anak, tidak sedikit pula orang dewasa yang seandainya bisa ingin menghindar dari keharusan duduk di kursi gigi.

Lalu bagaimana jika si anak takut dicabut giginya?

Tidak jarang diambil keputusan untuk memaksakan tindakan pencabutan itu. Anak dipangku orang tuanya duduk di kursi gigi, dipegangi sambil dicabut giginya. Anak menangis dan meronta hampir dapat dipastikan bukan karena kesakitan, namun karena ketakutan.

Pilihan tindakan di atas sebisa mungkin sebaiknya dihindari.

Mengapa? Karena dengan menjalankan tindakan semacam itu, dapat dipastikan anak akan menolak diajak ke dokter gigi di kemudian hari, juga ketika terjadi kegawatdaruratan, di mana diperlukan tindakan segera.

Lalu tindakan apa yang dapat dilakukan?

Percakapan ini menggambarkan alternatif tindakan yang mungkin lebih baik:

Dokter gigi anak (D) : “Adek, boleh dilihat giginya sama Bu Dokter?”
Anak (A) : “Nggak mau!”
D : “Lihatnya di sini saja (di tempat duduk pengantar, bukan di kursi gigi) kok. Cuma buka mulut saja. Gimana?”

Pelan-pelan si anak membuka mulutnya

D : “Ah, pintar sekali Adek ini.. Coba diintip sebentar ya..”

Dokter melihat gigi si anak.

D : “Nah, sekarang kalau melihat kursi gigi mau tidak? Kursinya bisa naik dan turun lho. Lampunya jika diusap bisa nyala dan mati lho.. (diperagakan, sambil diam-diam kaki si Dokter menginjak saklar lampu)”

Anak mungkin akan tertarik untuk mendekat dan melihat kursi gigi.

D : “Mau mencoba duduk di kursi gigi?”

Anak menggeleng.

D : “Oh, mungkin bapak atau ibu mau mencoba dulu duduk di kursi yang bisa naik turun ini.”

Ibu mendekat dan duduk di kursi gigi, si anak mengamati.

D : “Wah ibu duduknya enak sekali ya Bu? Adek mau ikut? Dipangku ibu?”

Si anak menggeleng.

D : “Oh ya sudah, mungkin lain kali ya.. Nggak apa-apa. Lain kali masih boleh main ke sini kok..”

Pada kunjungan kali itu, mungkin memang tidak ada tindakan medis yang bisa dilakukan. Tapi itu tidak berarti kunjungan kali itu sia-sia belaka. Si anak pulang dengan kesan baik dan nyaman tentang dokter gigi dan ruang prakteknya. Tumbuh keberanian dan kesediaan untuk diajak lagi ke dokter gigi.

Biasanya sebagai solusi kasus di atas (gigi susu ‘kesundulan’), anak yang pada kunjungan pertama tidak mau, pada kunjungan selanjutnya, karena gigi susu tersebut tidak bisa lepas sendiri, dengan sukarela menyerahkan giginya untuk dibantu dilepas oleh dokter gigi.

Tidak jarang, orang tua berusaha mendesak agar dokter gigi segera melakukan tindakan medis yang diperlukan, sekalipun si anak jelas-jelas ketakutan. Di sini diperlukan edukasi terhadap orang tua. Pemaksaan hampir selalu berarti menumbuhkan ketakutan dan keengganan dalam diri si anak untuk pergi ke dokter gigi di kemudian hari. Katakanlah masalah pada gigi yang satu itu hari ini selesai. Namun bukankah gigi ada banyak jumlahnya? Dan tidak tertutup kemungkinan muncul masalah pada gigi yang lain. Lalu bagaimana bila si anak sudah terlanjur jera (takut) pada dokter gigi? Mau dipaksa lagi? Seiring pertumbuhan si anak, akan tiba saatnya di mana pemaksaan tak lagi mungkin dilakukan.

Ada beberapa hal yang saya lihat berperan di sini, di antaranya: komunikasi anak dengan dokter gigi, komunikasi orang tua dengan anak, komunikasi dokter gigi dengan orang tua, dan pertimbangan jangka panjang, bukan hanya untuk kasus kali itu saja.

Sudah pernahkah teman-teman membawa anak-anaknya pergi ke dokter gigi?