Archive
Little Women
Serial ini menceritakan mengenai kehidupan tiga gadis keluarga Oh yang bergelut dalam keterbatasan kemampuan ekonomi. Oh In-joo si sulung dan Oh In-kyung adiknya begitu menyayangi Oh In-hye adik terkecil mereka.
Mereka mulai terlibat dalam pusaran persoalan serius ketika Jin Hwa-young, teman kerja dan teman akrab Oh In-joo menghilang, lalu ditemukan bunuh diri, dan secara sembunyi-sembunyi meninggalkan uang dalam jumlah besar untuk In-joo. Di sisi lain, In-hye si bungsu yang merasa tidak nyaman selalu dalam posisi penerima belas kasihan kedua kakaknya, berhubungan baik dengan Park Hyo-rin, anak politisi Park Jae-sang. Tanpa disadari oleh tiga saudari ini, mereka terlibat dalam urusan yang mengancam nyawa dengan Perkumpulan Jeongran dengan anggrek birunya.
Read more…One Ordinary Day
One Ordinary Day
Mulanya itu sebuah hari yang biasa saja bagi Kim Hyun-soo, seorang mahasiswa. Ajakan temannya untuk main bareng, yang diikutinya dengan “meminjam” mobil taksi ayahnya, ternyata berujung terjadinya perkara kriminal di dini hari esoknya, dengan dia sebagai tersangka pembunuhan. Hadirnya Shin Joong-han, pengacara kelas teri yang menaruh minat pada sosok lugu Hyun-soo, membawa secercah harapan untuk Hyun-soo bisa keluar dari belitan perkara yang dihadapinya.
Read more…Squid Game
[mengandung spoiler]
Menggunakan permainan yang melibatkan kematian sebagai sarana utama untuk menghantar cerita, Squid Game mengajukan pertanyaan mengenai masih adakah kebaikan dalam diri tiap orang pada para penontonnya.
Squid adalah nama sebuah permainan anak-anak di Korea. Dinamakan demikian karena menggunakan arena dengan bentuk menyerupai cumi-cumi yang digambar di atas tanah. Dalam serial ini, sekelompok orang mengadakan serangkaian permainan yang terdiri dari 6 permainan anak-anak dengan imbalan uang tunai dalam jumlah luar biasa jika menang, dan resiko kematian jika kalah. Para pesertanya adalah orang-orang yang dipilih dan diundang secara rahasia, semuanya orang yang memiliki hutang yang sangat banyak. Tiap peserta diberi nomor urut, yang digunakan sebagai identitas selama permainan berlangsung. Permainan diadakan di sebuah tempat yang dirahasiakan dari publik.
Di antara 456 orang peserta, terdapat Seong Gi-hoon seorang duda cerai yang hidup pas-pasan bersama ibunya, Cho Sang-woo seorang manajer investasi yang menyalahgunakan uang kliennya, Kang Sae-byeok seorang gadis pelarian dari Korea Utara, kakek tua Oh Il-nam yang punya tumor di kepala, dan Ali imigran dari Pakistan yang terjerat hutang karena gajinya tidak dibayarkan selama berbulan-bulan.
Kesulitan hidup sebagai orang yang dihimpit masalah finansial digambarkan dengan lugas. Keikutsertaan dalam Squid Game ditawarkan sebagai solusi atas masalah hidup para peserta. Bagi para calon peserta, Squid Game memang benar tampak sebagai jalan keluar satu-satunya, sedangkan konsekuensi adanya kematian tidak terlalu dipikirkan. Baru ketika di permainan pertama benar ada peserta yang tewas karena melanggar aturan permainan atau kalah, para peserta menyadari bahwa lebih dari sekedar permainan dengan iming-iming hadiah uang, ini adalah soal hidup dan mati.
Kematian digambarkan secara brutal dan apa adanya. Darah muncrat, kepala berlubang, dicitrakan secara visual. Kengerian dalam porsi yang pas – tidak kurang dan tidak berlebih – disampaikan pada para penonton.
Sifat manusia sebagai makhluk sosial yang punya keinginan untuk saling membantu dan bekerja sama terakomodasi di permainan-permainan awal, ketika jumlah peserta masih banyak dan memang masih tersedia ruang untuk itu. Penonton diberi harapan bahwa dengan bekerja sama, para tokoh utama akan bisa memenangkan secara bersama-sama. Kejadian perkelahian hebat di malam hari makin menguatkan harapan itu.
Namun ilusi harapan itu dihancurkan begitu permainan makin bersifat individual dan jumlah peserta makin sedikit. Peserta-peserta yang saling akrab dan saling percaya, harus mulai saling berhadapan dan saling bunuh.
Episode Gganbu menggambarkan dengan sangat baik hal itu. Ketika peserta diminta untuk bermain secara berpasangan, harapan adanya ruang untuk saling bekerja sama itu terus dipupuk. Para peserta memilih pasangan yang paling mereka percaya, ada yang pasangan suami istri bahkan. Peserta saling bersalaman, mengikat rasa saling percaya. Semua berharap mereka akan bisa memenangkan permainan berikutnya secara berpasangan. Kakek Il-nam berkata pada Gi-hoon pasangannya, bahwa mereka adalah gganbu – sahabat yang saling berbagi. Namun ternyata peraturan permainan mengharuskan mereka untuk saling berhadapan. Tidak ada celah untuk mereka keluar bersama sebagai pemenang. Salah satu harus kalah (dan tewas) agar yang satunya menang.
Bagian yang menurut saya paling cemerlang adalah dialog antara kakek Il-nam dan Gi-hoon. Gi-hoon yang merasa terdesak dan putus asa berkali-kali menipu kakek Il-nam yang sudah setengah pikun. Ketika akhirnya tinggal satu kelereng di tangan si kakek, si kakek mengajak Gi-hoon untuk memainkan satu babak permainan lagi yang mempertaruhkan semua kelereng yang dimiliki. Gi-hoon mengeluh bahwa itu tidak adil. Lepas dari kesan pikun yang sebelumnya digambarkan, Kakek Il-nam menohok balik, “Apakah berkali-kali menipuku itu adil?” Ketika Gi-hoon tak mampu lagi berkata-kata, kakek Il-nam melanjutkan, “Kita adalah ‘gganbu’, satu kelereng ini buatmu..”
Squid Game mengajukan pertanyaan bertubi-tubi pada para penontonnya: andaikan kita dalam situasi terdesak semacam itu, jadi karakter yang manakah kita, apa yang mau kita lakukan?
Apakah kejutan di bagian akhir membuka ruang untuk hadirnya season lanjutan?

Racket Boys
Dengan menggunakan bulutangkis sebagai tema utama, serial ini berusaha menuturkan cerita tentang sekelompok anak remaja pemain bulutangkis, lengkap dengan aneka dinamika hidup bertetangga di desa tempat mereka tinggal.
Yoon Hae-kang, bersama orang tuanya yang adalah pasangan pelatih bulutangkis, pindah tinggal hidup dari kota ke desa. Ayah dan ibunya menjadi pelatih di sekolah desa tempat mereka tinggal. Tim bulutangkis sekolah mereka beranggota sedikit dan selalu diremehkan dalam pertandingan antar sekolah. Bersama teman-temannya, Hae-kang yang penuh rasa percaya diri (the one and only Yoon Hae-kang!) meniti jalan menuju tim nasional bulutangkis Korea.
Cerita mengalir ringan sambil menyinggung banyak topik, di antaranya: senioritas (banyak sekali drama Korea yang menyinggung topik ini), prasangka orang desa terhadap orang kota, hubungan orang tua dan anak. Romantika cinta anak remaja ikut menjadi bumbu cerita.
Adegan-adegan aksi permainan bulutangkis cukup banyak ditayangkan, sebagian di antaranya terasa terlalu dramatis. Lee Yong-dae, pemain nasional bulutangkis Korea, muncul sejenak sebagai cameo.
Meski tidak meninggalkan kesan mendalam untuk saya, serial ini tidaklah buruk, bisa dinikmati. Bagian cerita yang sempat menimbulkan kehebohan penggemar bulutangkis Indonesia sebenarnya bukan bagian utama cerita. Han Se-yoon, karakter pemain bulutangkis remaja putri, malah sempat menyatakan rasa iri dengan penggemar bulutangkis Indonesia yang besar jumlahnya.
Siapa yang sempat nonton tapi berhenti di episode 5? 🙂
Saya yakin Indonesia sebenarnya bisa bikin serial bertema bulutangkis yang lebih bagus, dengan banyaknya pemain bulutangkis level dunia yang perjuangannya penuh inspirasi. Semoga suatu hari terwujud.

Taxi Driver
Dalam dunia hukum pidana ada adagium: lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Serial Taxi Driver mengajukan pertanyaan “lalu di mana keadilan untuk korban dari seribu orang yang bersalah yang dibebaskan itu?” dan mencoba “menawarkan” jawabannya.
Kim Do-gi bekerja sebagai sopir taksi di perusahaan taksi Pelangi yang dimiliki Jang Sung-chul. Di malam hari, dengan dukungan anggota tim lainnya: Ahn Go-eun, Choi Kyung-goo, dan Park Jin-eon mereka mengoperasikan “taksi mewah” – sebuah organisasi gelap yang menawarkan jasa balas dendam untuk orang-orang yang merasa kasusnya sulit untuk diselesaikan secara hukum. Mereka bahkan memasang iklan dengan tagline menarik: “jangan mati, balas dendam saja”. Mereka punya hubungan kerja sama dengan organisasi gelap lainnya yang dipimpin Baek Sung-mi.
Sembari mengupas kasus-kasus yang mereka hadapi, jalannya cerita juga menguak latar belakang tiap anggota tim Pelangi, menjelaskan alasan mereka bersedia terlibat dalam operasi taksi mewah.
Serial ini juga menghadirkan tokoh jaksa Kang Ha-na yang idealis tapi seiring hadirnya kasus-kasus sulit makin menyadari keterbatasan “jangkauan tangan” hukum.
Menarik untuk diikuti bagaimana pergulatan tim Pelangi maupun Kang Ha-na dalam menghadapi keterbatasan aturan hukum di satu sisi dan menghadapi penderitaan korban kejahatan yang sulit diselesaikan di sisi lainnya.
Awalnya mungkin para penonton mengira bahwa ini semata soal membalaskan dendam. Namun seperti yang banyak orang sadari juga, pembalasan dendam akan dapat menghasilkan balas dendam berikutnya. Gandhi pernah berkata: mata ganti mata hanya akan membuat dunia buta. Lalu bagaimana?
Lee Je-hoon bagaikan memainkan banyak karakter di serial ini, karena sebagai Kim Do-gi ia menjalankan banyak penyamaran. Esom memainkan karakter Kang Ha-na dengan baik.
Soundtracknya menurut saya juga menarik. Model Taxi, Silence, dan Collision menghadirkan aura “hero” seperti di film 80-90an.
Akan menarik jika ada season 2 nya.

Itaewon Class

[mengandung spoiler]
Itaewon Class menceritakan tentang perjalanan hidup seorang anak muda sejak ia menghajar seorang pelaku bullying di sekolahnya hingga ia mencapai kesuksesan dengan usaha kedai makannya.
Dua tiga episode awal mengantar cerita dalam ritme cepat. Dalam episode-episode pembuka itu, kejadian yang dialami Park Saeroyi, si tokoh utama, menarik perhatian saya untuk terus mengikuti cerita.
Park Saeroyi yang berjuang mengembangkan kedai makanannya menghidupkan cerita dengan aneka pelajaran mengenai nilai hidup dan kerja keras. Berwarnanya jalan cerita jelas juga atas dukungan karakter-karakter lainnya dalam serial ini.
Oh Soo-ah – cinta pertama Saeroyi – tidak sekuat dan seberani Saeroyi. Meski demikian pilihan-pilihan jalan hidup yang diambil Soo-ah dimaklumi Saeroyi. Jo Yi-seo yang kemudian hadir sebagai manajer kedai makanan Saeroyi (ia cerdas!), melengkapi hubungan cinta segitiga mereka. Choi Seung-kwon mantan preman, Ma Hyun-yi koki transgender, dan Kim Toni orang kulit hitam berdarah Korea memungkinkan munculnya mini story-arc.
Jang Dae-hee pemilik grup Jang Ga, menjalani masa muda yang berat. Setelah meraih kesuksesan ia menjadi sosok yang kuat dan berpengaruh. Banyak orang yang memilih takluk padanya. Saeroyi menjadi sosok yang berbeda di mata Dae-hee. Ia terpancing untuk melakukan banyak hal demi melihat Saeroyi takluk padanya.
Dalam serial ini ada dua tokoh pendukung yang menarik perhatian saya.
Yang pertama adalah Park Sung-yul, ayah Saeroyi, mantan manajer di grup Jang Ga. Kehadirannya singkat saja, tapi pengaruhnya mewarnai sepanjang cerita. Saya sangat terkesan dengan adegan “pertemuan kembali” Saeroyi dengan si ayah. Pembicaraan mereka di masa lalu “diputar ulang” dengan situasi yang baru.
Yang kedua adalah Lee Ho-jin, korban bullying di masa sekolah, yang kemudian dengan caranya sendiri bangkit mendukung Saeroyi di balik layar. Tanpa Ho-jin, jalannya cerita tak akan sama.
Tokoh Kim Soon-rye, si nenek “lintah darat”, sebetulnya menarik juga andaikan tidak terlalu banyak kebetulan yang menyertai kehadirannya di cerita.
Serial ini menghadirkan banyak detil yang menarik untuk disimak. Saya suka serial ini.
Reply 1988

[Mengandung spoiler]
Dari saran beberapa teman, beberapa minggu lalu saya dan istri memutuskan mulai menonton serial ini.
Saya sudah membaca sebelum menonton bahwa serial ini bertema kehidupan bertetangga sehari-hari. Terus terang pada awalnya saya sempat memandang remeh serial ini. Oh betapa salahnya saya..
Mirip dengan kebanyakan serial lain, serial ini dimulai dengan mengenalkan tokoh-tokoh dan setting ceritanya. Karena tokohnya cukup banyak, sesi perkenalan ini butuh waktu (dan kesabaran para penontonnya). Serial ini berlatar tahun 1988 (dan kemudian 1994, dinarasikan dari sudut pandang sekarang – 2015) di sebuah gang di Ssangmun-dong pinggiran kota Seoul.
Saya mendapati betapa penggambaran hidup bertetangga dalam serial ini luar biasa mirip dengan yang saya (dan mungkin banyak penonton lain) alami dulu. Saling kirim makanan antar tetangga dengan anaknya yang diminta antar, anak yang saling bertandang ke rumah masing-masing sekedar untuk numpang nonton TV, ibu-ibu yang saling berbagi gosip – dan kadang beban hidup, juga teman-teman yang saling bantu (dan ejek). Sampai di situ mungkin banyak serial atau film lain yang menggambarkan situasi serupa.
Detil penggambaran suasana era itu memang adalah salah satu kekuatan Reply 1988. Kirim-kirim salam lewat radio, merekam lagu dari kaset teman, kaos nomor 23 milik Jordan, model rambut keriting khas ibu-ibu zaman itu ada di antaranya.
Tapi kekuatan sejati Reply 1988 adalah pada kedalaman pesan yang disampaikan. Detilnya sangat kaya, dan dalam jumlah yang nyaris tak terhitung, karena diceritakan sepanjang serial berjalan.
Ada banyak hal kecil yang diceritakan lewat gambar, tanpa kata.
Menjelang pernikahannya, Sung Bo-ra membelikan ayahnya sepatu baru. Berkali-kali sang ayah menyatakan betapa pas sepatu yang dibelikan putrinya itu. Tapi terlihat jelas (oleh penonton) di pada hari pernikahan bahwa ternyata sepatu itu terlalu besar ukurannya.
Pada adegan lain, digambarkan Bo-ra tinggal di asrama/indekos untuk persiapan ujian. Orang tuanya mengirimkan makanan untuknya. Diperlihatkan Bo-ra makan sepanci kepiting, dan pada adegan selanjutnya orang tuanya dengan bahagia makan sewadah kaki kepiting yang kecil-kecil.
Kim Jung-hwan yang cenderung serius dan pendiam suatu ketika bersedia memberikan candaan “Presiden Kim!” khas ayahnya pada si ayah ketika si ayah sedang marah untuk mencairkan suasana rumah.
Ada banyak sekali yang seperti ini, juga yang diwujudkan dalam kata-kata, termasuk voice-over tokohnya. Akumulasi dari penggambaran seperti ini menjadikan Reply 1988 luar biasa.
Bagaikan supermarket yang serba lengkap, serial ini menyajikan aneka hal tentang relasi antar manusia: antar tetangga, antara adik – kakak, antara anak – orang tua, antara murid – guru, antar teman, antar sepasang kekasih.
Jadi, tidak tepat jika dikatakan serial ini melulu soal nostalgia 80an.
Jika ada teman atau kerabat yang menyarankan untuk menonton serial ini, saya menyetujui saran itu. Serial ini lebih dari layak untuk ditonton.
Jangan lupa, nantikan suara kambing yang terdengar ketika terjadi situasi konyol 🙂