Mengantre
Adalah salah bila berpikir bahwa mengantre adalah hal sederhana, sekedar berdiri sesuai urutan dan menunggu giliran. Antre menyangkut banyak hal, di antaranya: sportivitas, kesigapan dan ketangkasan, rasa keadilan, dan tentu saja kesabaran.
Ada banyak hal yang membuat kita harus ikut masuk dalam antrean. Mulai dari menunggu giliran dilayani di bank, menunggu giliran menikmati permainan di Dunia Fantasi, menunggu giliran dilayani petugas loket tol, hingga menunggu giliran membeli tiket bioskop. Kebetulan, yang terakhir saya sebutkan tadi itu yang saya alami kemarin.
Hal pertama yang saya amati kemarin adalah masalah kejelasan, kejelasan jalur antrean. Karena bioskop ternyata belum buka, orang2 menggerombol di depan pintu masuk, tidak ada jalur antrean yang jelas. Petugas satpam yang datang kemudianpun bukan berusaha membuat jalur antrean, tapi sekedar meminta orang2 untuk mundur menjauh dari pintu masuk.

Antrean yang tidak jelas
Ketika tiba saatnya pintu masuk bioskop dibuka, lomba laripun segera dimulai. Yang paling cepat dan tangkas, tentu saja bisa berdiri lebih depan. Yang berbadan besar memiliki keuntungan lebih, bisa mendesak yang lebih kecil. 3 jalur antrean terbentuk, walau tidak jelas. Terdengar cekcok di sana sini, ada yang merasa diserobot jalurnya, ada yang marah karena dituduh menyerobot (padahal ya.. memang menyerobot antrean). Mengantre tidak sekedar berdiri urut saja sesuai jalur, tapi juga menyangkut ketangguhan fisik dan mental.
Beberapa belas menit kemudian, mendadak muncul jalur antrean baru, yang keempat, yang diinisiasi oleh petugas satpam sendiri. Mereka yang tadinya berdiri di belakang, mendapat kesempatan merangsek ke depan, masuk ke jalur antrean baru. Rasa keadilan terusik. Tapi, apalah arti rasa keadilan dalam model antrean yang nyaris tanpa aturan semacam itu.
Waktu berjalan. Semakin dekat ke depan, para penitip tiket mulai bermunculan. Seorang lelaki yang mengantre di depan teman saya (saya persis di belakang teman saya itu) mendadak didatangi seorang yang terlihat seperti temannya, mengobrol, lalu berdiri bersisian dengan si lelaki. Tak lama kemudian, datang seorang “teman” lain, menyapa si lelaki, dan berdiri juga di sisi satunya. Teman saya, yang gatal melihat kejadian itu, bertanya pada si lelaki, “Itu teman2nya ya Mas?” Dijawab singkat, “Ya.” Ya sudah..
Antrean terus bergerak maju. Muncul kejadian lain. Anak2 kuliahan yang berdiri di belakang saya mendadak ribut dengan seseorang. Rupanya ada yang berusaha menyerobot antrean mereka. Si penyerobot bilang bahwa ia cuma menggantikan temannya yang tadinya ada di situ (setahu saya, tidak ada orang lain di situ, selain anak2 kuliahan tadi). Didebat keras, akhirnya orang itu berdiri di belakang anak2 kuliahan di belakang saya itu. Sportivitaspun musnah pagi itu. Jalan pintas yang diambil. Tak ada rasa malu.
Antrean adalah masalah kecil yang tak pernah tuntas di negeri ini. Bukan cuma soal antre tiket bioskop. Antre di lampu merahpun mirip masalahnya. Tidak jarang, di perempatan juga terbentuk “jalur antrean baru” yang menduduki jalur jalan yang berlawanan, yang justru menyebabkan kemacetan dan (tidak jarang) juga keributan. Rasa malu lenyap di mana2. Antrean membayar tagihan listrikpun tidak jarang membuat saya marah. Antrean yang tanpa nomor, sekedar mengandalkan urutan tumpukan secarik kertas, bisa membuat kesabaran hilang hanya gara2 ada orang yang menyelipkan kertas antreannya di urutan awal.
Saya sering tak habis pikir saat berhenti di palang kereta, menanti kereta api melintas. Saat itu, tak dapat dikenali lagi apakah Indonesia menganut sistem jalur jalan kiri ataukah kanan, karena orang2 yang ada di belakang serentak bergerak maju, mengambil jalur kanan, persis berhadap2an dengan kendaraan dari seberang palang, yang berjalan pada jalur yang benar. Kekacauan selalu terjadi setelah palang terbuka.
Antrean jadi penyakit yang meluas, karena para petugas loket yang melayani antrean, seringkali juga tidak menghargai antrean. Penyerobot antrean dilayani juga. Mereka yang terserobot haknya oleh si penyerobot, tak kurang pula salahnya, karena mengizinkan hak mereka diinjak.
Di sisi lain, sistem yang ada juga seringkali tidak mendukung adanya antrean yang sehat. Pada antrean parkir, tidak ada keterangan tentang berapa ruang parkir yang masih tersisa. Tidak jarang antrean parkir bubar sia2, hanya karena mendadak pintu masuk parkir ditutup petugas oleh palang bertuliskan “Tempat parkir habis”. Hal yang sama juga terjadi pada antrean tiket bioskop. Siapa mengantre untuk tiket film apa yang main jam berapa, tidak jelas. Semua orang ikut jalur antrean yang sama panjangnya. Padahal mungkin ia mau menonton film yang kebetulan peminatnya tidak banyak. Atau bisa saja mereka yang mengantre di depan mau membeli tiket film yang main paling malam. Teman saya pernah melihat, film yang diputar jam pertama sepi penonton, padahal peminatnya banyak. Yang berminat menonton pada jam itu masih terjebak dalam antrean.
Antrean yang tidak jelas aturannya, semakin menyurutkan niat orang untuk ikut mengantre dengan baik. Kunci suksesnya cuma satu, bagaimana secepat mungkin bisa dapat tempat di depan.
======================
Catatan:
Omong2, untuk menemukan kata yang baku, antre ataukah antri, juga tidak begitu mudah, ada yang menggunakan antre, ada yang memilih antri. Ternyata yang baku adalah “antre”, bisa diperiksa di: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php