Archive
Keanekaragaman
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan main ke negeri tetangga. Di sedikit waktu luang yang saya punya selepas menuntaskan keikutsertaan di acara yang menjadi alasan utama saya pergi ke sana, saya diantar bepergian ke luar kota oleh kedua sepupu saya yang manis dan baik hatinya 🙂
Salah satu hal yang saya tangkap dari pemandangan di luar jendela kendaraan yang saya tumpangi adalah kesan betapa teratur dan tertatanya segala sesuatu yang nampak oleh mata. Misalnya baliho. Baliho tidak tersebar banyak, seandainyapun ada juga dalam ukuran yang wajar, tidak nampak terlalu menyolok.
Setelah saya amati dan pikir lebih jauh, sepertinya kesan teratur dan tertata itu lebih dipengaruhi oleh sedikitnya jenis tanaman yang tumbuh di sana. “Tumbuh di sana” mungkin berlebihan dan belum tentu akurat, terlebih karena saya bukan pengamat atau peneliti jenis-jenis tanaman. Tapi setidaknya dari yang terlihat oleh mata di sepanjang perjalanan, tanaman yang ada banyak yang tampak serupa.
Kesan berbeda saya peroleh ketika saya berkesempatan jalan-jalan di negeri sendiri. Kesan tanaman yang rimbun, beraneka jenis yang tercampur di satu tempat, melekat kuat hampir di setiap tempat. Kesannya tidak begitu teratur dan tertata. Menurut saya ini bukan sekedar masalah penataan penanaman tanaman, tapi ya karena memang tanaman di negeri kita sungguh lebih beraneka macam.
Kata orang, biodiversitas Indonesia paling tinggi kedua di dunia setelah Brasilia. Jadi keanekaragaman tanaman kita mungkin memang lebih unggul dari negeri tetangga yang saya kunjungi itu.
=====
Nah, kebetulan beberapa waktu sesudah saya pulang, saya membaca artikel Mbak Elizabeth Pisani ini. Saya tidak begitu peduli dengan bagian awal artikelnya. Yang paling menarik perhatian saya justru kalimat-kalimat di paragraf kedua dari akhir. Saya kutipkan di sini:
The fact is, the more diverse a democracy, the more political compromise you need to glue it together. And Indonesia is probably the most diverse democracy in the world. A great deal of the country’s energy, attention and resources for many years to come will be turned inwards, focused on maintaining the exquisite balancing act that is Indonesian democracy.
Saya rasa kita semua sudah sejak lama menyadari, betapa Indonesia dikaruniai banyak hal yang beraneka ragam. Tidak hanya jenis tanamannya, tapi juga budaya, suku, ras, dan agamanya. Namun keanekaragaman itu juga membawa konsekuensi pada besarnya upaya yang harus dikerahkan untuk menjaga keseimbangan dan merekatkan, bukan hanya flora, fauna, dan alamnya, tapi juga budaya, suku, ras, dan agamanya.
Saya percaya bahwa kesediaan untuk mendengar dan selalu peka pada kebutuhan pihak lain akan memudahkan upaya untuk merekatkan keanekaragaman budaya, suku, ras dan agama yang berbeda itu. Pertanyaannya adalah: Masihkah ada kesediaan untuk itu?
Atau mungkinkah sudah semakin banyak orang merasa bahwa hidup akan lebih mudah ketika keanekaragaman itu diganti menjadi keseragaman?
Selamat pagi Indonesia.
We need a great comeback!
Beberapa minggu belakangan ini, saya – seperti banyak orang Indonesia lainnya – mendadak jadi penonton setia pertandingan2 tim nasional Indonesia. Mendadak saya jadi hafal nama2 pemain timnas Indonesia, siapa menduduki posisi mana. Rasanya ini dimulai dari kemenangan mencolok 5-1 atas Malaysia pada pertandingan pertama AFF 2010. Kapan terakhir kita menang dengan skor seperti itu? Saya tidak pernah ingat. Saat itu, ada beberapa orang yang memperkirakan timnas kita akan bertemu lagi dengan Malaysia di final. Entah mengapa, saya termasuk yang meyakininya, namun banyak orang tidak. Akhirnya sampailah kita di hari ini, hari ketika timnas kita akan kembali bermain melawan mereka, dengan posisi tertinggal 3 gol.
Jika ingin mencari momen berbaliknya sebuah tim dari (calon) pecundang menjadi pemenang, partai MU – Bayern Munich di Final Champions League tahun 1999 adalah partai yang selalu menancap di benak saya. Saya tidak akan berpanjanglebar mengisahkan partai itu di sini, tapi cukuplah jika saya menyebutkan bahwa mengejar ketertinggalan satu gol dengan dua gol balasan yang keduanya dicetak pada masa perpanjangan waktu babak kedua adalah suatu hal yang luar biasa. Luar biasa dari sisi kemampuan fisik, tapi terlebih lagi luar biasa dari sisi kemampuan mental. Setelah berjerih lelah tanpa hasil mengupayakan gol berpuluh2 menit sebelumnya dan kesempatan yang tersisa cuma beberapa menit saja, butuh dorongan mental yang luar biasa untuk terus berusaha hingga saat terakhir.
Partai Liverpool – AC Milan di Final Champions League tahun 2005 tak kalah menggetarkannya. Saat ini kita tertinggal 3 gol dan masih punya waktu 90 menit tersisa, plus akan bermain di kandang sendiri. Liverpool, kala itu, tertinggal 3 gol hingga hanya 36 menit tersisa, dan hebatnya, mereka sanggup membalikkan keadaan dengan waktu yang tersisa itu.
Semangat apa yang mendorong pemain tim2 besar itu untuk terus berusaha, mengupayakan yang terbaik, sampai waktu benar2 tidak bersisa? Suntikan motivasi macam apa yang diberikan oleh para pelatih mereka? Itu mungkin pertanyaan kita.
Adalah betul bahwa pada suatu ketika dorongan semangat yang mendadak begitu besar bisa mengubah banyak hal. Kata2 yang tepat, mungkin mampu menginspirasi dan mendorong orang untuk berbuat yang terbaik. Tapi ada baiknya untuk juga mengingat, mereka, para tim2 besar itu dan juga para pengurus asosiasi sepakbolanya, telah mengerjakan pekerjaan rumah mereka jauh2 hari, selama puluhan tahun: membangun sistem yang baik. Pemain2 mereka, entah didikan klub mereka sendiri ataupun hasil didikan klub lain, telah tertempa kompetisi yang ulet dan fair selama bertahun2. Kemampuan teknis, kekuatan fisik, dan ketangguhan mental sudah diasah selama sekian lama. Racikan strategi dan suntikan motivasi yang tepat dari pelatih melengkapi semuanya itu.
Keajaiban tentu bisa muncul di mana saja. Tapi tanpa mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya sudah berbelas2 tahun atau bahkan berpuluh2 tahun lalu kita kerjakan, itu ibarat maju ujian dengan modal hanya suntikan semangat dan dukungan doa dari sanak saudara.
Itu PR yang semoga jangan pernah lagi dilupakan untuk dikerjakan, terutama oleh para pengurus persepakbolaan kita. Tapi untuk hari ini, untuk malam ini, saya bergabung dengan rekan2 yang lain berpesan pada timnas kita: “Balikkan keadaan! Rebut piala! Jadilah juara!”
Indonesia yang kompak dan perkasa
Sukarelawan yang turun langsung ke lapangan tentu saja patut diacungi jempol. Tapi selain mereka, seperti dalam banyak peristiwa besar lainnya, selalu ada saja sekrup2 kecil yang ikut berperan berjalannya proses tanggap darurat. Sekrup2 kecil ini seringkali tak bernama, tak berbendera, tapi perannya tak kalah luar biasa.
Bagi teman2 yang memantau twitter hari2 ini, khususnya terkait bencana Merapi, tentulah tahu ada banyak orang yang menolong melancarkan jalannya potongan2 informasi ke arah yang tepat. Ada yang memberitahukan di posko pengungsi X kekurangan suplai barang ini dan itu. Yang lain menanggapi dengan menyatakan akan mengirimkan si anu menuju ke sana membawa sebagian yang dibutuhkan tadi. Ada yang menyediakan diri terus menerus memantau dan melaporkan aktivitas Merapi dari menit ke menit. Ada pula yang menyediakan diri memberikan tips2 praktis menghadapi bencana. Di sisi lain, ada yang berusaha menggalang dana dan bantuan dari teman2nya. Tak ketinggalan, ada yang dengan sukarela menyumbang pulsa buat mereka, agar arus informasi tak terhenti.
Beragam peta praktis terkait kebencanaan Merapi juga disusun dengan cepat untuk dipublikasikan. Peta radius bencana saja ada beberapa yang mencoba membuat, semuanya tentu bermanfaat. Peta daerah terdampak awan panas dan perkiraan aliran lahar dingin juga ada. Ada yang membuat, ada yang menyebarkan dan meneruskan informasi itu. Semua berperan.
Evakuasi yang mendadak membuat pengungsi lari tanpa bersiap apa2. Sebelum ada himbauan resmi untuk menyediakan nasi bungkus, ada banyak rumah tangga biasa dan juga warung2 sederhana menyediakan diri membuat bungkusan nasi dan lauk untuk pengungsi. Lagi2, ada yang membuat dan ada juga yang membagi dan mengantar sampai di tujuan.
Ketika malam Jumat amukan Merapi mendadak menjadi parah, mobil pengungsi dari arah utara berduyun turun. Di tepi jalan, ada orang yang menyediakan diri menyiramkan air ke jalan dan ke mobil pengungsi untuk membantu menghilangkan abu dari kaca mobil. Tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang meminta, dan terlebih lagi, tidak ada yang membayar mereka untuk melakukan itu. Semua dilakukan begitu saja.
Dari sekian banyak orang yang terlibat dalam proses tanggap bencana itu, saya yakin banyak di antaranya yang tidak saling kenal, tapi mereka bersedia bekerja sama. Instruksi Gubernur, “Bendera selain Merah Putih harap diturunkan.” melengkapi semua ini.
Indonesia yang kompak dan perkasa: itulah kesan yang saya lihat dalam hari2 berlangsungnya bencana letusan Merapi. Bukan Indonesia yang loyo tak berdaya, yang terpecah2 atas identitas kelompok dan golongan. Terkadang, bencana memang perlu untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita adalah bangsa yang kompak dan perkasa.
Salam hormat saya untuk semua rekan, yang menyediakan diri tanpa merasa perlu menempelkan label identitas diri. Anda semua adalah pahlawan kami.
Mengantre
Adalah salah bila berpikir bahwa mengantre adalah hal sederhana, sekedar berdiri sesuai urutan dan menunggu giliran. Antre menyangkut banyak hal, di antaranya: sportivitas, kesigapan dan ketangkasan, rasa keadilan, dan tentu saja kesabaran.
Sekeping nasionalisme dalam bulutangkis
Saya baru saja pulang dari nonton film King. Dengan segala kekurangannya – yang tidak akan saya bahas di sini – bagi saya film ini menarik. Film ini mengingatkan saya pada masa ketika dunia bulutangkis Indonesia berjaya di panggung dunia. Ketika itu, tiap kali ada pertandingan bulutangkis yang disiarkan di televisi, jalanan selalu sepi, semua mata terarah pada televisi, entah televisi di rumah sendiri, atau di kantor kecamatan, atau di tempat lain. Saat pendekar bulutangkis kita meraih poin, semua bersorak. Saat lawan gantian memperoleh poin, semua kecewa. Ketika posisi poin pemain kita sedang kritis, semua berdoa. Ya, saya yakin seluruh bangsa ini berdoa, demi kemenangan jagoannya. Belum lagi kalau penyiar legendaris, Sambas, menyerukan, memanjatkan doa. Saat pemain kita menang, seluruh rakyat bersorak. Betapa hebat, bulutangkis mampu menyatukan semangat seluruh bangsa!
Tapi tidak hanya itu. Bulutangkis juga menggerakkan ekonomi sebagian masyarakat. Saya tahu persis, karena ayah saya termasuk pengusaha kecil bola bulutangkis (kok). Beliau adalah generasi ketiga dari usaha kecil keluarga itu. Tiap kali Indonesia memenangkan Piala Thomas atau Uber, atau keduanya, dapat dipastikan, pesanan kok bakal meningkat pesat. Stok di rumah kami dalam waktu singkat, ludes. Semua tukang yang bekerja di rumah kami, pemasok bulu, pemasok kulit, pemasok gabus, semua yang terlibat dalam proses produksi kok, ikut merasakan berkahnya.
Bulutangkis mampu menyatukan semangat bangsa, bulutangkis juga mampu ikut menggerakkan roda ekonomi bangsa. Nah, sekarang soal pengabdian dan pengorbanan. Sampai sekarang, saya masih kagum dengan para atlet kita waktu itu. Hadiah dari kejuaraan waktu itu belum begitu besar, setidaknya masih jauh dibandingkan sekarang. Malahan, jumlah kejuaraan yang digelar dan mungkin untuk diikuti dan dimenangkan, juga tidak sebanyak sekarang. Mengapa mereka mau terus berjuang di dunia bulutangkis? Tentu ada banyak alasan pribadi yang mungkin, namun salah satunya, menurut saya, tergambar di akhir film King: terdengarnya Indonesia Raya di berbagai pojok dunia. Mendengarnya di film saja, film fiksi pula, membuat saya merinding. Apalagi bila mendengarnya sambil berdiri di podium, ikut merasakan banyak pemirsa televisi yang menyaksikannya ikut menyanyi dan berbangga pula. Sungguh suatu kebahagiaan tersendiri. Imbalan yang layak atas pengabdian tanpa pamrih: kejayaan bangsa di berbagai pentas dunia.
Andaikan saja, semua dari kita, rakyat beserta segenap aparat pemerintah, memiliki semangat mengabdi, rasa nasionalisme yang sama.. Indonesia sungguh akan menjadi bangsa yang besar.
Good News from Indonesia
Orang sering bilang, “Bad news are good news”. Tidak heran apa yang sering kita baca, lihat, dan dengar dari media tidak sedikit yang merupakan bad news. Bagi saya sendiri,bad news seringkali memang menarik untuk didengar, karena darinya saya merasa bisa belajar sesuatu, tahu bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki. Tapi, good news bagi saya lebih menarik lagi untuk didengar, darinya saya mendapat inspirasi untuk berbuat hal positif juga.
Kemarin malam, seorang teman bercerita soal sebuah blog yang berisi soal good news. Blognya bernama “Good News from Indonesia“. Saya berkunjung ke sana, dan mendapati banyak hal menarik dan positif soal Indonesia. Blog itu bercerita soal PT. Dirgantara Indonesia (tahu nama itu kan?) yang menerima pesanan pesawat dari beberapa negara; juga soal J.Co Donuts, perusahaan milik anak bangsa yang mampu berekspansi ke negara tetangga dengan bermodalkan donat; dokter termuda dari UGM tak lupa diliput juga.
Membaca blog tersebut, saya teringat dengan jurnalisme positif (istilah saya sendiri) lainnya. Kick Andy salah satu contohnya. Acara TV itu banyak menceritakan hal2 positif soal perjuangan manusia mengatasi tantangan hidupnya, ide2 dan inovasi2 anak muda Indonesia, dan banyak hal lainnya.
Saya rasa adalah baik bila kita bisa mulai bercerita lebih banyak lagi soal hal2 positif yang telah dicapai sesama warga bangsa. Berita positif akan menginspirasi pembacanya untuk tidak hanya sekedar membaca lagi, namun juga membuat berita positif lainnya.
Updated: baru saja menemukan situs Berita Baik dari Indonesia