Archive
Motivator dan Wirausahawan
“Bunuh saja para motivator itu!” demikian kata teman saya, ketika kami membicarakan kesulitan saya dalam mencari programmer. Menurut saya, pernyataan teman saya itu jelas-jelas ngawur, masak di negara hukum ini kita melakukan pembunuhan? Hehehe, tentu saja bukan arti harafiah yang dituju teman saya, dan saya memahami apa yang sebenarnya dimaksudkannya.
Belakangan ini, saya mengalami kesulitan dalam mendapatkan tambahan programmer untuk usaha kecil saya. Di sisi lain, adalah gejala umum (artinya bukan hanya saya yang mengalami) di dunia IT di Yogya bahwa selain programmer itu sulit didapatkan, mereka juga sulit dipertahankan, dengan level gaji yang layak sekalipun (menurut saya, terlebih jika dibandingkan dengan relatif rendahnya biaya hidup di Yogya). Biasanya maksimal 1 tahun bekerja, dan kemudian pergi. “Ke mana?” adalah salah satu pertanyaan yang mengikuti fenomena ini. Dalam pengalaman saya, biasanya salah satu dari tiga pilihan ini, jadi PNS, kerja di Jakarta (ya, Jakarta, bukan sekedar pindah kerja ke perusahaan lain, tapi ke perusahaan lain yang berkedudukan di Jakarta), atau kerja sendiri (bahasa kerennya: jadi freelancer). Ketiga pilihan itu kebetulan juga saya tulis sesuai dengan prioritas mereka yang keluar dari tempat saya. Coba ngelamar jadi PNS dulu, kalo gak lolos, ya coba cari kerja di Jakarta, kalo masih belum beruntung juga (betulkah hanya keberuntungan saja? ini butuh satu posting panjang untuk membahasnya) ya coba kerja sendiri deh.
Terus apa kaitannya dengan para motivator? Sabar… nanti saya akan sampai ke sana 🙂
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah jadi responden untuk sebuah penelitian S3 seorang kandidat doktor. Topik penelitiannya berkisar di dunia UKM IT di Yogya dan Bandung. Ada segepok pertanyaan sulit yang mesti saya jawab. Setelah selesai menjawab semuanya, saya gantian bertanya kepada si pembawa kuesioner tentang jalannya penelitian ini, seberapa banyakkah responden yang sudah dijumpai. Keterangannya ternyata cukup menarik bagi saya. Dia sudah mencoba menghubungi sekitar 30an UKM IT sebelum sampai ke saya. Dan dia mendapati bahwa hampir semuanya (kira-kira 34 dari 37 UKM) sudah tidak eksis lagi dengan berbagai sebab, entah karena memang sudah dibubarkan pemiliknya, atau sudah pindah kantor (sebagian dari alamat kantor ternyata adalah tempat kos, dan alamat kantor penggantinya tidak diketahui), atau sudah ganti jenis usaha. Jadi, ternyata UKM IT di Yogya ini sangat cair sifatnya, mudah sekali terbentuk (bahkan ada yang langsung berbentuk CV atau PT), namun juga mudah sekali bubar (setelah 1 atau 2 proyek). Hingga saat ini saya masih menjumpai UKM-UKM IT baru terus bermunculan. Fakta ini, ditambah dengan melihat kenyataan bahwa saya (dan beberapa teman saya yang juga bergerak di dunia IT) merasa sangat sulit mendapatkan programmer, mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa sebagian programmer (tentu saya tidak tahu angka persisnya, tapi mengacu cerita si pembawa kuesioner, jumlahnya lumayan) memang memiliki ‘nafsu’ wiraswasta tinggi.
Tiap kali saya pergi ke toko buku, entah Toga Mas ataupun Gramedia, saya hampir selalu melihat buku baru dengan topik kewirausahaan. Muncul banyak motivator baru, yang rekam jejaknya kadangkala tidak begitu jelas, hanya disebutkan bahwa beliau sudah sukses di beberapa bidang usaha, entah apa bidang usahanya dan apa nama usahanya. Mungkin memang saya yang kurang teliti (selain karena memang tidak berniat untuk meneliti latar belakang mereka 🙂 ). Yang jelas, publik, terutama anak muda, dikompori habis-habisan bahwa dunia wirausaha itu punya masa depan cerah. Mendingan jadi tuan atas diri sendiri, daripada jadi buruh di kantor punya orang lain. Itu yang selalu ditekankan. Modal niat dan mental cukup, sisanya bisa diperoleh sambil jalan.
Saya setuju bahwa wirausaha itu bermasa depan cerah. Itu juga salah satu alasan kenapa saya memulai usaha saya sendiri 🙂 Tapi saya sedari awal sadar bahwa perjalanan ini tidaklah mudah. Menurut saya, jika dibandingkan dengan jadi karyawan, bisa dibilang lebih mudah jadi karyawan. Lakukan tugas tiap hari, pasti dapat gaji tiap bulan. Saya melihat sebagian orang tidak sadar hal ini. Jadi yang tertanam di benak banyak orang adalah, jadi wirausahawan atau wiraswastawan itu mudah dan gampang kaya. Yang bagian kerja keras dan seberapa besar resikonya ketinggalan. Atau mungkin sebagian sadar juga bahwa tidak mudah, tapi seberapa tidak mudah, tidak tahu. Pokoknya nekad dululah, resiko tanggung belakangan.
Melihat hal ini, rasanya apa yang diucapkan teman saya jadi relevan. Negeri ini memang butuh banyak wiraswastawan yang tangguh, tapi tidak semua orang harus memaksa diri jadi wiraswastawan untuk jadi orang sukses. Nekad saja tidak cukup jadi modal seorang wiraswastawan. Jadi wiraswastawan ataupun karyawan sama mulianya jika dijalani dengan penuh tanggung jawab dan komitmen.
Selamat berkarya!