Archive
Anak dan Dokter Gigi
Di rumah kami yang mungil, tidak sedikit sore dan malam hari di mana istri saya berbagi cerita tentang berbagai kasus yang dihadapinya di ruang prakteknya bersama pasien-pasien yang tanpa nama itu (tanpa nama bagi saya, pasien dengan nama bagi dia). Dari banyak kisah yang diceritakannya, saya melihat bahwa kasus gigi pada anak membutuhkan tindakan dengan pertimbangan akan paling mendatangkan manfaat bagi diri si anak dalam jangka panjang.
Mari kita lihat contoh satu kasus ini.
Seorang anak didampingi ayah dan ibunya masuk ke ruang praktek. Keluhannya adalah gigi susunya ‘kesundulan’. Ini kasus yang banyak dijumpai pada anak-anak, di mana gigi permanen sudah mendesak hendak keluar, sedangkan gigi susu masih melekat kuat belum goyah sedikitpun. Biasanya dokter gigi (terlebih dokter gigi anak) akan memberikan saran agar gigi susu itu digoyang-goyang sendiri di rumah, hingga goyah dan akhirnya lepas sendiri. Gigi ‘kesundulan’ tersebut biasanya disebabkan oleh pertumbuhan rahang yang kurang sehingga rahang tidak dapat menampung gigi permanen yang menggantikan gigi susu tersebut. Perlu diperhatikan di sini bahwa gigi permanen ukurannya lebih besar dari gigi susu. Makan makanan yang keras (misalnya buah apel yang dipotong potong, bukan di jus), bisa membantu merangsang pertumbuhan rahang. Jika pertumbuhan rahang selaras dengan besar gigi yang tumbuh maka diharapkan tidak terjadi lagi gigi susu ‘kesundulan’. Jika gigi susu ‘kesundulan’ tadi, setelah digoyang-goyang tidak dapat lepas sendiri, mungkin perlu bantuan dokter gigi untuk membantu melepasnya.
Dapat dibayangkan kegundahan hati si anak ketika ia diberitahu bahwa giginya hendak dicabut. Jangankan dicabut, untuk duduk di kursi gigi dan diperiksa giginya saja banyak anak yang sudah merasa gentar. Jangankan anak-anak, tidak sedikit pula orang dewasa yang seandainya bisa ingin menghindar dari keharusan duduk di kursi gigi.
Lalu bagaimana jika si anak takut dicabut giginya?
Tidak jarang diambil keputusan untuk memaksakan tindakan pencabutan itu. Anak dipangku orang tuanya duduk di kursi gigi, dipegangi sambil dicabut giginya. Anak menangis dan meronta hampir dapat dipastikan bukan karena kesakitan, namun karena ketakutan.
Pilihan tindakan di atas sebisa mungkin sebaiknya dihindari.
Mengapa? Karena dengan menjalankan tindakan semacam itu, dapat dipastikan anak akan menolak diajak ke dokter gigi di kemudian hari, juga ketika terjadi kegawatdaruratan, di mana diperlukan tindakan segera.
Lalu tindakan apa yang dapat dilakukan?
Percakapan ini menggambarkan alternatif tindakan yang mungkin lebih baik:
Dokter gigi anak (D) : “Adek, boleh dilihat giginya sama Bu Dokter?”
Anak (A) : “Nggak mau!”
D : “Lihatnya di sini saja (di tempat duduk pengantar, bukan di kursi gigi) kok. Cuma buka mulut saja. Gimana?”Pelan-pelan si anak membuka mulutnya
D : “Ah, pintar sekali Adek ini.. Coba diintip sebentar ya..”
Dokter melihat gigi si anak.
D : “Nah, sekarang kalau melihat kursi gigi mau tidak? Kursinya bisa naik dan turun lho. Lampunya jika diusap bisa nyala dan mati lho.. (diperagakan, sambil diam-diam kaki si Dokter menginjak saklar lampu)”
Anak mungkin akan tertarik untuk mendekat dan melihat kursi gigi.
D : “Mau mencoba duduk di kursi gigi?”
Anak menggeleng.
D : “Oh, mungkin bapak atau ibu mau mencoba dulu duduk di kursi yang bisa naik turun ini.”
Ibu mendekat dan duduk di kursi gigi, si anak mengamati.
D : “Wah ibu duduknya enak sekali ya Bu? Adek mau ikut? Dipangku ibu?”
Si anak menggeleng.
D : “Oh ya sudah, mungkin lain kali ya.. Nggak apa-apa. Lain kali masih boleh main ke sini kok..”
Pada kunjungan kali itu, mungkin memang tidak ada tindakan medis yang bisa dilakukan. Tapi itu tidak berarti kunjungan kali itu sia-sia belaka. Si anak pulang dengan kesan baik dan nyaman tentang dokter gigi dan ruang prakteknya. Tumbuh keberanian dan kesediaan untuk diajak lagi ke dokter gigi.
Biasanya sebagai solusi kasus di atas (gigi susu ‘kesundulan’), anak yang pada kunjungan pertama tidak mau, pada kunjungan selanjutnya, karena gigi susu tersebut tidak bisa lepas sendiri, dengan sukarela menyerahkan giginya untuk dibantu dilepas oleh dokter gigi.
Tidak jarang, orang tua berusaha mendesak agar dokter gigi segera melakukan tindakan medis yang diperlukan, sekalipun si anak jelas-jelas ketakutan. Di sini diperlukan edukasi terhadap orang tua. Pemaksaan hampir selalu berarti menumbuhkan ketakutan dan keengganan dalam diri si anak untuk pergi ke dokter gigi di kemudian hari. Katakanlah masalah pada gigi yang satu itu hari ini selesai. Namun bukankah gigi ada banyak jumlahnya? Dan tidak tertutup kemungkinan muncul masalah pada gigi yang lain. Lalu bagaimana bila si anak sudah terlanjur jera (takut) pada dokter gigi? Mau dipaksa lagi? Seiring pertumbuhan si anak, akan tiba saatnya di mana pemaksaan tak lagi mungkin dilakukan.
Ada beberapa hal yang saya lihat berperan di sini, di antaranya: komunikasi anak dengan dokter gigi, komunikasi orang tua dengan anak, komunikasi dokter gigi dengan orang tua, dan pertimbangan jangka panjang, bukan hanya untuk kasus kali itu saja.
Sudah pernahkah teman-teman membawa anak-anaknya pergi ke dokter gigi?