Archive

Posts Tagged ‘pendidikan’

Gelar

Zaman dulu kala, orang yang dianggap memiliki kemampuan menyembuhkan orang lain disebut tabib. Waktu itu, tidak ada pendidikan formal bagi seseorang untuk bisa menjadi tabib. Seorang tabib menjadi tabib, dan dipanggil orang sebagai tabib, karena kemampuannya untuk menyembuhkan diakui dan diyakini orang lain. Tabib biasanya memiliki cantrik atau murid, yang mengikuti segala hal yang dilakukan si tabib dalam menyembuhkan orang lain. Setelah sekian tahun, ketika si tabib beranjak tua, si murid, yang dianggap menguasai ilmu si tabib tua, beserta segala pengalamannya, mulai dianggap orang sebagai tabib baru. Pada banyak profesi lain, hal seperti inilah yang terjadi. Tukang kayu, tukang batu, pedagang. Ilmu diwariskan dengan mengikuti segala tindak laku dan pengalaman si senior. Pola pikir dibentuk dalam waktu tahunan, bahkan mungkin puluhan tahun. Ketika waktunya tiba, masyarakatpun akan mengakui kemampuan si penerus.

Masyarakat modern tidak lagi cukup sabar untuk menanti datangnya si penerus profesi dalam waktu puluhan tahun. Mereka butuh proses regenerasi dilangsungkan dalam waktu yang lebih cepat. Diciptakanlah standar dan gelar. Tabib, yang kemudian disebut dokter, adalah seseorang yang telah melalui pendidikan dengan sejumlah pelajaran, dan telah lulus uji dengan standar tertentu. Selepas mereka lolos ujian, diberikanlah gelar resmi: dokter. Setiap orang yang telah melalui proses ini akan memperoleh gelar yang sama. Tidak hanya dokter, banyak profesi lain menciptakan proses regenerasi serupa.

Lama kelamaan, masyarakat makin percaya dengan gelar2 yang disandang orang. Siapapun yang memiliki gelar dokter, misalnya, akan mendapatkan penghargaan dan kepercayaan sebagaimana layaknya dulu masyarakat menghargai seorang tabib. Perhatikan, jika zaman dulu masyarakat percaya karena melihat sendiri kemampuan seseorang, maka kini, masyarakat percaya karena melihat gelar yang disandang. Tiap orang yang menyandang gelar dokter, diyakini memiliki kemampuan untuk menyembuhkan tiap orang sakit yang datang kepadanya. Tiap orang yang menyandang gelar sarjana ekonomi, dianggap mampu menganalisis berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi dan memberikan solusi untuk tiap masalah ekonomi. Tiap orang yang menyandang gelar sarjana hukum, dianggap fasih akan bahasa2 hukum, memiliki kemampuan menafsirkan berbagai aturan hukum secara akurat.

Sistem seperti ini telah berlangsung lama, dan dianggap efisien. Akhir2 ini, makin banyak hal lagi disertifikasi, dengan harapan diperoleh kualitas yang sama, sama tingginya. Dua contoh yang cukup mutakhir: untuk menjadi guru, seseorang harus memiliki sertifikat guru, untuk menjadi sutradarapun nantinya seseorang harus memiliki sertifikat.

Masalahnya, tidak jarang ada hal2 yang tidak tercakup dalam proses sertifikasi. Bagi saya, syarat mutlak yang harus ada dalam diri guru adalah adanya jiwa pendidik di dalam dirinya. Mencintai siswa2nya, tulus memberikan semua ilmunya. Bagaimana hal2 ini mau diukur dalam sebuah proses sertifikasi? Untuk menjadi seorang sutradara, seorang seniman, hal utama yang harus ada tentunya daya kreatif yang tinggi. Bagaimana pula hal ini mau diukur dalam proses sertifikasi? Tidak semua hal bisa disertifikasi.

Ketika gelar dianggap masyarakat sebagai tujuan utama, muncul masalah lain. Proses yang ada di balik gelar tidak begitu diperhatikan lagi. Segala daya upaya dikerahkan agar gelar atau sertifikat diperoleh. Beberapa teman saya ketahui sering mengajak (dan membiayai) dosennya untuk mengikuti seminar. Nilai yang tinggi mudah mereka raih. Di sisi lain, tidak jarang pihak pemberi gelar (sekolah misalnya), terkesan semakin mempermudah proses untuk meluluskan peserta didiknya. Kurikulum disederhanakan, dipersingkat masa studinya. Semakin cepat mereka meluluskan peserta didik, semakin cepat pula peserta didik baru mengisi kursi yang ditinggalkan (dengan membawa dana segar, tentunya). Efeknya jelas, menurunnya kualitas lulusan. Pada kenyataannya, gelar yang mestinya menjadi standar, malah tidak lagi memberikan jaminan kualitas. Jarak antara kualitas yang mestinya terkandung dalam gelar dan gelar itu sendiri mulai melebar.

Gelar tidak lagi bermakna, bila proses di baliknya diabaikan.

Cermin kondisi pendidikan tinggi kita?

Beberapa hari yang lalu, saya menerima sebuah email sebagai berikut:

salam kenal pak albert nama saya xxxx (Albert: namanya saya sembunyikan) .. saya mahasiswa tingkat akhir jurusan teknik informatika di salah satu perguruan tinggi di jakarta..

saya tertarik dengan aplikasi rekam medis yg anda dan teman2 dari kunang kembangkan…. kebetulan skripsi saya mengambil topik tentang rekam medis pula..

adakah sekiranya saya bisa bertanya pada anda, sidplite itu dibuat menggunakan software apa…? dan apakah sekiranya teman2 dari kunang dapat membantu saya untuk mengirimkan tutorial dalam pembuatan rekam medis elektronik yang mirip dengan sidplite….

atau apakah teman2 dari kunang bisa juga membuatkan jasa untuk saya dalam pembuatan software rekam medis elektronik (semacam sidplite) namun dengan persyaratan teknis dari saya… (dengan harga terjangkau tapinya…)

mohon tanggapannya… terima kasih sebelumnya

Saya sungguh heran, mau jadi sarjana informatika macam apa mahasiswa ini ketika dia lulus? Baru mengerjakan skripsi saja sudah minta tolong orang lain mengerjakan skripsinya, lengkap dengan langkah-langkahnya. Jelas sekali dia tidak bersedia bersusah payah menganalisa masalah untuk kemudian memunculkan ide sebagai solusi atas masalah tersebut. Mau bayar, tapi belum-belum sudah nawar pula.

Singkatnya jawaban saya: saya bukan biro jasa pembuatan skripsi, dan saya merasa tidak mendidik Anda jika saya menanggapi permintaan Anda.

Pertanyaan saya: apakah ini cermin kondisi pendidikan tinggi kita?