Archive

Posts Tagged ‘menabung’

Memberi Hingga Terluka?

Minggu lalu, dalam kunjungan terkait pengerjaan sebuah proyek, dalam beberapa hari berturut-turut saya mengunjungi RS Waa Banti, sebuah RS yang dikelola oleh LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro), yang berada sekitar 5 kilometer dari Tembagapura, Kabupaten Mimika. Sebuah pengalaman perjalanan yang baru dan berkesan buat saya.

RS Waa Banti banyak dikunjungi pasien warga lokal, terutama dari suku Amungme dan Kamoro, juga dari 5 suku lain yang berkerabat dengan 2 suku tersebut. Sekitar 90% pasien berstatus tidak bekerja. Heran dengan statistik ini, saya mendapat penjelasan dari staf RS bahwa sebagian besar pasien adalah penambang emas di sungai yang mengalirkan tailing (sisa hasil proses tambang). Pekerjaan tersebut dianggap bukan pekerjaan tetap, sehingga pasien dianggap tidak bekerja. Umumnya, orang setempat baru bekerja bila membutuhkan uang, meski bila mereka bekerja dalam sehari mereka bisa mendapat 2 gram emas.

Penambang emas dari tailing. Sehari. 2 gram emas. Bekerja bila butuh uang.

Dalam salah satu waktu luang yang ada selama di sana (yang adalah kesempatan langka), saya sempat berbincang dengan seorang staf RS, menggali pengalaman dia selama bekerja di RS Waa Banti. Kisah menarik muncul dari penuturannya. Suatu kali seorang pasien warga lokal menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah kepada dia setelah si pasien diperiksa (penting untuk dicatat, kebanyakan pasien tidak perlu membayar untuk mendapat pelayanan di RS Waa Banti). Percakapan pun terjadi dalam bahasa Indonesia logat lokal (yang sayangnya saya tidak mampu mereplikasinya di sini). Ibu staf RS bertanya pada si pasien, “Untuk apa uang itu diberikan pada saya? Bukankah pelayanan di sini gratis?” Si pasien (yang juga seorang ibu) menjawab, “Untuk anak kamu, untuk membeli susu buat anak kamu, untuk membeli makanan untuk anak kamu.” Padahal jelas-jelas gaji si staf RS tentu sudah amat mencukupi untuk kebutuhan dia dan keluarganya, dan di sisi lain uang itu tentu lebih berarti bagi si pasien. Si pasien terus mendesak, “Sudahlah ibu, terima saja. Saya memberi dengan senang hati. Kalau saya sudah beri, janganlah ditolak.” Diterimalah uang itu. Namun si ibu staf RS tak kurang akal, ia berkata, “Sekarang uang ini milik saya. Saya mau beri uang ini untuk kamu. Untuk anakmu. Untuk beli susu dan makanan untuk anakmu. Tolong diterima, janganlah ditolak.” Diterima kembalilah uang itu oleh si pasien.

Kejadian seperti itu bukan hanya sekali dua kali terjadi. Dari keterangan yang saya kumpulkan kemudian dari obrolan dengan beberapa staf RS, tidak ada konsep menabung dalam budaya setempat. Itu menjelaskan mengapa mereka bekerja hanya bila butuh uang. Bila mereka telah punya cukup uang untuk hari tersebut, bisa saja mereka dengan senang hati memberikan sisa uangnya untuk orang lain. Ini menjelaskan mengapa terjadi kejadian seperti yang dikisahkan staf RS di atas.

Teringatlah saya pada potongan doa yang terkenal itu: “berikanlah kami pada hari ini, makanan kami yang secukupnya”.

Ketika saya mengambil gambar beberapa anak yang melintas di depan RS, Mas Jojok (yang mengajak saya ikut serta dalam kunjungan kerja itu) berkata, “Mungkin mereka itulah pemilik sesungguhnya emas di gunung sana.” Saya tidak sepenuhnya paham mengenai sistem bagi hasil pertambangan yang diterapkan untuk pertambangan emas di sana: berapa bagian pemerintah Indonesia, berapa bagian perusahaan pengelola, berapa bagian yang dialokasikan untuk pengembangan masyarakat setempat. Tapi melihat kenyataan itu, tak terelakkan sebuah pertanyaan melintas di benak saya: apakah mereka telah memberi terlalu banyak pada orang lain termasuk kita? Dan: apakah kita telah mengambil terlalu banyak dari mereka?

Saya bukan seorang ekonom, dan mungkin benar seperti yang pernah dikatakan seseorang pada saya bahwa saya terlalu bodoh untuk memahami konsep-konsep ekonomi sehingga saya tak bisa memahami apa yang saya lihat di sana.