Archive

Posts Tagged ‘kelompok bermain’

Ketika anak ingin bersekolah..

Anak bermain

Anak kami, Karel, berusia 3,5 tahun saat ini. Sudah sejak dia berusia kurang dari 2 tahun kami sering mendapat pertanyaan: Karel sudah (/belum/tidak) disekolahkan? Kami berencana untuk menyekolahkan dia langsung ke TK, tidak melalui Kelompok Bermain (KB). Mengapa? Karena kami berpandangan bahwa – dalam kadar yang mungkin berbeda – tanpa harus bersekolah di KB, Karel bisa mendapatkan apa yang akan didapatkannya di KB: teman bermain (kami orang tuanya, pengasuhnya, dan sejumlah anak-anak tetangga), pengenalan berbagai hal seperti: fauna (dengan pergi ke kebun binatang), mengenal bentuk-bentuk geometris (melalui berbagai bentuk permainan di rumah), pengenalan alfabet dan angka (melalui berbagai buku anak-anak yang kami punya di rumah, termasuk buku masa kecil saya dulu), pengenalan tempat dan hal baru (dengan bepergian bersama ke luar kota, ke tempat baru), belajar mandiri (makan dan berpakaian sendiri misalnya). Menurut kami, KB baik, namun tetap dengan beberapa kelemahan, seperti: anak dapat dengan mudah meniru hal-hal tidak baik dari temannya (berantem, berkata tidak baik, dll) karena bagaimanapun pengawasan guru di KB tetap terbatas. Selain itu, di KB anak lebih rentan tertular penyakit, pada masa sistem kekebalan tubuhnya belum mapan terbangun. Sedari mula akan menikah, kami memang telah menyiapkan diri dengan berniat untuk bekerja di rumah, agar dapat mengawasi dan membesarkan anak kami sendiri.

Namun beberapa minggu yang lalu, Karel bilang bahwa ia mau sekolah. Ketika ditanya lebih lanjut, ia bilang bahwa ia mau bersekolah di tempat yang mainannya banyak. Kami merasa bahwa ini mungkin memang waktunya bagi dia untuk sekolah. Dia sudah menyatakan kebutuhannya untuk bermain (dan mungkin bersosialisasi) di arena yang lebih luas. Maka mulailah kami berburu sekolah..

Kami mungkin adalah orang tua yang “aneh-aneh”, memilah dan memilih berbagai KB dengan banyak kriteria kami sendiri. Misalnya: berbahasa pengantar Indonesia (karena bagaimanapun kami tinggal di Indonesia, dan masih akan berhubungan dengan banyak orang Indonesia), tempat bermain outdoor yang cukup luas (pesanan Karel), kelas relatif kecil dengan jumlah guru pendamping yang cukup, tidak memaksakan mengajarkan anak untuk baca tulis (mengenalkan sih boleh, toh kami juga sudah mengenalkannya di rumah), relatif heterogen dalam hal suku (untuk mengajarkannya hidup berdampingan dengan keragaman budaya), bersih (kami memeriksa kondisi kelas dan toiletnya), dan relatif aman (sebisa mungkin ada gerbang berlapis, dengan ada halaman yang cukup luas sebelum terjumpa jalan raya), sebisa mungkin hanya berlantai satu (alasan keamanan, karena keterbatasan kemampuan pengawasan guru). Kami juga lebih menyukai sekolah yang memberi kesempatan pada calon murid dan orang tuanya untuk melihat terlebih dahulu kegiatan sekolah tersebut sebelum akhirnya si murid didaftarkan di situ.

Istri saya mengunjungi beberapa sekolah untuk melihat situasi fisik dan non-fisiknya. Tiap kali ia pulang ke rumah, Karel bertanya, “Sudah dapat sekolah yang mainannya banyak, Mami?” Akhirnya dari beberapa kunjungan istri saya, kami menyusun daftar sekolah yang akan dikunjungi kembali, bersama saya dan Karel.

Menurut kami, memilih sekolah bukan sekedar melihat dan membandingkan isi kurikulum, daftar kegiatan, juga daftar biayanya. Kami mencoba mengamati sikap guru dalam berbagai situasi (bagaimana bila ada anak yang nakal, ada anak baru, ada anak yang masih takut-takut, dsb). Dalam soal ini saja, kami mendapati sikap dan tanggapan yang beragam. Ada yang menerima dengan baik, tiap guru yang berpapasan menyapa si anak, meskipun jelas ia masih calon murid, belum tentu masuk ke KB itu. Ada yang menerima dengan biasa-biasa saja, sekedar melihat dari jauh kehadiran kami, tanpa usaha menyapa dan mengajak berbincang. Kami juga mengamati bagaimana staf administrasi sekolah bekerja. Ada yang menjanjikan untuk menghubungi pada sekian hari ke depan untuk menginformasikan ketersediaan kelas trial, namun hingga sekarang belum ada kabar apa-apa.

Dari semua hal yang kami amati dan kami pertimbangkan itu, kami akhirnya memutuskan untuk memasukkan Karel ke kelas trial di sebuah sekolah. Jauh dari tempat tinggal kami, tapi menurut kami, dari banyak sisi, sekolah tersebut lebih baik dibanding sekolah-sekolah lainnya.

Ini pengalaman kami, bagaimana pengalaman Anda?