Archive
Hubungan antara pasien buta huruf dan sistem informasi
“Yohana Anau!” panggil staf RS bagian farmasi. (Nama pasien, diagnosis, dan obat yang disebutkan adalah fiktif belaka, dimaksudkan sebagai contoh kasus saja.)
Seorang wanita muda yang menggendong anak berjalan mendekati loket farmasi. Ia menyerahkan selembar kartu pasien yang berlumur ingus anaknya kepada staf farmasi. Staf farmasi yang mengenakan sarung tangan karet menerima kartu pasien tersebut, memeriksa nomor rekam medisnya, mengambil obat yang sudah disiapkan, lalu berusaha menjelaskan cara pemakaian obat pada si pasien yang tidak begitu memahami bahasa Indonesia dan juga tak lincah membaca menulis.
“Mama sakit batuk kah?” tanya staf farmasi, sambil memperagakan batuk.
Si pasien mengangguk.
“Obat ini diminum sebutir sehari empat kali,” jelas staf farmasi, sambil menunjukkan empat jari tangan.
“Mengerti?”
Si pasien kembali mengangguk.
“Sekarang cap jempol tangan di sini.” Staf farmasi mengangsurkan selembar kertas bukti tanda terima obat dan bantalan tinta.
Pasien memberikan cap jempolnya di lembar yang disediakan, dan obat diserahterimakan.
==============
Rutinitas semacam itu yang tampak hampir sepanjang jam operasional di ruang farmasi pada sebuah RS kecil di bagian timur Indonesia sana.
Sekilas tampak normal. Namun di balik apa yang tampak itu, ada berbagai kendala yang dihadapi.
Sebagian besar pasien hanya sedikit memahami bahasa Indonesia. Dan sebanyak itu pula pasien yang tidak mampu membaca dan menulis.
Penjelasan mesti diberikan dengan bantuan bahasa isyarat, didukung dengan harapan: semoga informasi yang disampaikan dipahami dengan benar dan dijalankan oleh pasien. Terkadang ada pasien lain yang paham bahasa Indonesia, dan mereka dapat membantu menyampaikan penjelasan petugas medis pada si pasien dalam bahasa lokal.
Tidak jarang dijumpai pasien yang tidak mengonsumsi obat sesuai dengan cara yang telah dijelaskan. Obat yang berwarna-warni itu berakhir di dinding rumah, diperlakukan layaknya pajangan, karena warna-warninya yang dianggap menarik. Tidak jarang pula jatah obat untuk sekian hari dikonsumsi sekaligus, mungkin karena pasien mengira itu bisa membuat ia makin cepat sembuh.
Bukan hal yang langka pula, pasien yang datang mendekat ke loket bukanlah pasien yang memiliki nama yang sebelumnya dipanggil staf farmasi (atau dipanggil staf medis di poliklinik). Pasien yang mendekat itu datang hanya karena agar ia bisa segera menerima obat (yang adalah obat pasien lain) dan segera bisa pulang. Bila staf farmasi tidak jeli memeriksa kartu pasien, obat yang salah dapat diserahterimakan. Resiko ini makin besar untuk terjadi bila pasien kebetulan tidak membawa kartu, atau bahkan membawa kartu milik pasien lain.
Sebagian besar pasien yang datang tidak tahu tanggal lahirnya sendiri.
==============
Bagaimana cara memperkecil kemungkinan kesalahan pemberian obat? Bagaimana cara mengurangi kemungkinan kejadian salah panggil pasien (sekalipun si pasien dengan sengaja datang walau bukan namanya yang dipanggil)? Bagaimana cara mencatat umur pasien yang tidak diketahui jelas tanggal lahirnya?
Ini adalah sekedar beberapa contoh tantangan nyata bagi implementasi teknologi informasi. Bagaimana teknologi informasi mampu mendukung kerja staf RS dalam menghadapi berbagai persoalan non-teknis seperti itu. Sekedar membuat sistem informasi (sistem informasi apapun), yang memiliki kolom isian lengkap dan alur kerja yang detail tentu adalah hal yang benar. Tapi membuat agar sistem informasi dengan kolom isian lengkap dan alur kerja detail itu dapat diisi dengan data nyata dalam kerangka waktu yang masuk akal oleh petugas di lapangan, bagi saya adalah tantangan sebenarnya.
Tidak jarang penyusun kebijakan dan pengembang sistem informasi berbincang panjang dan lebar tentang berbagai aspek teknis dalam teknologi informasi: menggunakan DBMS apa, menggunakan framework apa, mengapa memilih teknologi ini ketimbang itu, seperti apa dataset yang lengkap dan mampu menampung seluruh data yang diminta berbagai stakeholder, dst.
Tapi mungkin adakalanya kita juga perlu berbicara tentang berbagai aspek ‘manusiawi’ dari kebijakan dan sistem informasi yang tengah dibangun: seberapa mampu SDM yang ada menggunakan sistem yang tengah dibuat, seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisi sebuah form, apakah kolom data mandatory (harus terisi) yang ada di dalam form isian itu sungguh adalah data yang tersedia di lapangan, apakah sungguh sistem informasi yang tengah dibangun itu mempercepat kerja petugas lapangan alih-alih memperlambatnya, dst.
Menuliskan tulisan ini sungguh mengingatkan saya pada slogan: information technology for everyone..