Archive

Posts Tagged ‘golput’

Sebuah usulan mekanisme penghitungan kursi DPR(D)

Selama ini saya memahami demokrasi sebagai sistem kenegaraan dimana rakyat dapat memilih siapa2 saja yang dapat mewakili mereka untuk menyuarakan keinginan dan harapan mereka. Rakyat memiliki hak pilih atas wakilnya, itu singkatnya. Yang namanya hak, boleh digunakan, dan tidak dilarang untuk tidak digunakan. Dengan demikian, rakyat boleh menentukan, apakah dia akan memilih wakilnya, atau dia tidak akan memilih wakilnya.

Pada pemilu kemarin, banyak berita tentang sejumlah warga negara yang tidak tercantum namanya di DPT (daftar pemilih tetap), dan oleh karena itu kehilangan haknya untuk memilih. Selain mengungkapkan protes, tidak ada yang bisa dilakukan mereka yang kehilangan haknya itu untuk kembali memperoleh haknya. Pemilu tetap berlangsung, dan oleh beberapa pihak, dinyatakan sukses, karena menurut mereka pemilu berlangsung dengan lancar.

Saya tidak memiliki data dan bahan informasi untuk memperkirakan berapa banyak mereka yang terpaksa golput seperti ini. Tapi setelah saya pikir2, nampaknya aneh bila hanya sebagian (entah berapa persen, semoga bukan 68% 🙂 ) yang memilih, tapi jumlah kursi DPR(D) tetap. Dengan jumlah pemilih yang utuh (semua yang memenuhi syarat sebagai pemilih dapat memberikan suaranya, dan memiliki informasi yang cukup tentang bagaimana melakukan pemilihan dengan benar, agar surat suaranya dinyatakan sah), BPP (bilangan pembagi pemilih = berapa jumlah suara yang diperlukan agar seorang caleg lolos menjadi anggota DPR(D)) pasti akan bernilai lebih besar daripada jika ada sebagian pemilih yang tidak memperoleh hak pilihnya. Misalnya, pada suatu daerah dengan jumlah warga yang berhak pilih 1 juta jiwa, tersedia 10 kursi DPR. Maka nilai BPPnya adalah 1.000.000 / 10 = 100.000. Seorang anggota DPR akan didukung minimal oleh 100.000 pemilih. Nah, misalnya dari 1 juta pemilih itu, yang ternyata masuk dalam DPT hanya 750.000 jiwa saja, maka nilai BPP menjadi 75.000. Bagi saya ini agak aneh, karena dengan demikian nilai legitimasi seorang anggota DPR menjadi lebih rendah. Selain itu, ini berarti mereka yang terhilang hak pilihnya, diabaikan begitu saja. Nyontreng atau tidak, tidak ada bedanya. Pemilu tetap berlangsung, anggota DPR(D) tetap jumlahnya.

Mari kita bawa contoh masalah ini ke kondisi yang lebih ekstrem. Misalnya, dari 1 juta warga yang seharusnya punya hak pilih, ternyata yang masuk DPT hanya 1 orang, maka betapa beruntungnya partai atau caleg yang kebetulan tercontreng oleh satu orang itu. Sekali contreng, 10 kursi didapat.

Kemudian saya mengkhayalkan suatu sistem yang mengizinkan jumlah anggota DPR tidak harus sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia. Kursi DPR hanya terisi sebanding dengan pemilih yang memutuskan untuk memilih wakilnya di DPR. Pemilih yang memutuskan untuk tidak memiliki wakil di DPR dihargai dengan mengosongkan kursi wakil mereka di sana. Dengan contoh tadi, seandainya dari 750.000 pemilih semuanya menentukan pilihan, maka maksimal hanya 7 (jika dibulatkan ke bawah), atau 8 kursi (jika dibulatkan ke atas) akan terisi.

Saya membayangkan, dengan sistem seperti itu, ada beberapa hal positif yang bisa diperoleh:

1/ Ada parameter tambahan untuk mengukur kualitas pemilu, yang dalam hal ini bisa dilihat dari tingkat keikutsertaan pemilih.
Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam pemilu (KPU, Depdagri, parpol, caleg) akan berusaha keras agar pemilih benar2 mau ikut serta menentukan wakilnya di DPR(D).

2/ Hak suara pemilih benar2 dihargai.
Jika pemilih berkeinginan untuk tidak diwakili, itu dihargai. Jika pemilih berkeinginan untuk diwakili, itu juga dihargai. Tidak ada suara yang terabaikan dalam sistem seperti ini.

3/ Ada efek ‘hukuman’ terhadap parpol yang mengecewakan pemilih.
Jika selama ini kita sering diberitahu bahwa untuk menghukum parpol yang mengecewakan kita dengan tidak menyerap aspirasi2 kita adalah dengan tidak memilihnya lagi 5 tahun yang akan datang, maka dengan sistem ini, efek hukumannya lebih terasa. Karena pemilih bisa menyusutkan jumlah anggota DPR(D).

4/ Partai politik lebih terdorong untuk semakin berusaha menyerap suara pemilih.
Dengan sistem yang sekarang ada, parpol cukup perlu untuk mendapat lebih banyak suara daripada pesaing2nya. Asal sudah lebih banyak dari pesaingnya, ya sudah. Dengan sistem khayalan ini, parpol akan lebih terdorong meraih simpati dari sebagian besar pemilih, termasuk dari mereka yang berniat untuk golput.

5/ Mendorong terbentuknya data kependudukan yang akurat dan up-to-date.
Seperti yang kita lihat dari pemilu ke pemilu, data pemilih terkait erat dengan data kependudukan. Oleh karena itu kita bisa berharap Depdagri akan lebih terdorong untuk mengefisienkan model pendataan kependudukan.

6/ Mendorong terciptanya mekanisme pencontrengan/pencoblosan yang sederhana dan efisien.
Agar jumlah suara yang sah tinggi, salah satu hal yang harus diperbaiki adalah mekanisme pemilihan itu sendiri. Semua pihak akan terdorong mencari cara pemilihan yang paling sederhana dan efisien, yang paling rendah tingkat kemungkinan salahnya. Baik itu mencoblos, atau mencontreng, atau cara lain yang mungkin lebih baik.

Ini sekedar usulan sederhana dari seorang warga negara yang mengimpikan negaranya berjalan menuju ke arah yang lebih baik.

Categories: kehidupan, pemilu Tags: , , ,