Archive
Catatan dari Forum Informatika Kesehatan (FIKI), 3-4 Desember 2011
Acara Workshop SIKDA Generik dan Connectathon dilanjutkan dengan FIKI 2011. Ini adalah catatan saya tentang FIKI 2011. Catatan ini tidak direncanakan untuk menjadi catatan kronologis, sehingga memang bisa jadi tidak akan lengkap.
FIKI adalah Forum Informatika Kesehatan Indonesia. FIKI 2011 adalah FIKI yang kedua. FIKI pertama diadakan tahun lalu, 2010, di Yogyakarta. FIKI 2011 ini diadakan di Jakarta, tepatnya di Novotel Mangga Dua Jakarta. Bagi saya, FIKI adalah forum yang menarik, karena menggabungkan dua bidang ilmu besar: ilmu kesehatan dan informatika. Informatika ditakdirkan sebagai ilmu yang fleksibel, karena ia hadir dengan harapan untuk mempermudah pengelolaan informasi, yang tentu saja diperlukan di banyak (atau bahkan semua) bidang kehidupan. Termasuk di bidang ilmu kesehatan.
Dari beragamnya latar belakang peserta FIKI yang saya jumpai, terlihat bahwa bidang informatika kesehatan menarik perhatian banyak pihak dari berbagai bidang ilmu. Sekedar menyebut beberapa di antaranya: tenaga medis (dokter, dokter gigi, perawat, dll), perusahaan pengembang SIK dan programmer lepas (terutama yang mengembangkan aplikasi untuk dunia medis, seperti Mas Jojok dan saya), pengelola RS, perusahaan telekomunikasi, perusahaan alat medis, akademisi dan universitas, peneliti, lembaga pemerintah (terutama yang terkait dengan soal kesehatan, dari berbagai lini: Dinkes Kabupaten, Dinkes Propinsi, lembaga di dalam Kemenkes).
FIKI Hari Pertama
Pada hari pertama, ada beberapa presentasi yang menarik bagi saya. Salah satunya adalah presentasi tentang Telkom e-Health Cloud yang sedang dikembangkan oleh PT. Telkom. Solusi cloud computing diajukan untuk menjawab beberapa persoalan, di antaranya: tidak terintegrasinya dan begitu beragamnya format data berbagai sistem informasi kesehatan (SIK) yang selama ini telah ada (persis dengan isu yang sedang dicoba untuk diatasi oleh Pusdatin – melalui penyusunan dataset standar), relatif mahalnya biaya investasi SIK, dan terbatasnya akses atas data kesehatan yang berada di dalam SIK.
Tentang cloud computing sebagai solusi untuk mengatasi masalah tidak terintegrasinya dan begitu beragamnya format data berbagai SIK yang selama ini ada, menurut saya solusi cloud computing yang diajukan hanya akan menjadi sekedar satu jenis SIK baru, dengan standar data dan alur proses yang juga baru. Ia baru akan menjawab persoalan itu, jika semua institusi medis yang ada meninggalkan SIK yang selama ini dipakai dan beralih pada cloud computing yang ditawarkan PT. Telkom. Format data yang digunakan, saya yakin (meski saya belum melihat), juga adalah format data yang berbeda, sejajar (dalam artian sama berbedanya) dengan berbagai format data dari SIK yang selama ini telah ada. Sehingga menurut saya, belum tentu cloud computing dapat hadir sebagai bentuk jawaban atas persoalan multi format data dan tidak terintegrasinya SIK yang ada.
Tentang cloud computing sebagai solusi atas mahalnya biaya investasi SIK, menurut saya persoalannya tidak sesederhana itu. Secara umum, biaya investasi sebuah sistem informasi (bukan hanya SIK) akan jauh melambung tinggi jika dirancang secara spesifik / custom. Biaya dapat ditekan jika sistem informasi yang ditawarkan bersifat generik, satu sistem yang sama untuk semua orang. Solusi cloud computing yang dijelaskan dalam presentasi itu, cenderung merupakan solusi satu sistem untuk semua orang. Variasi mungkin bisa disajikan dalam bentuk pilihan modul, tapi tentu saja ini terbatas, dan tidak bisa disebut sebagai solusi spesifik / custom. Pada kenyataannya, SIK selalu cenderung bersifat beragam, karena beragamnya kebijakan lokal, sesuai dengan tempat SIK tersebut digunakan. Ini saja terjadi di puskesmas, institusi yang sebetulnya relatif seragam, apalagi dengan RS (yang lebih banyak disinggung dalam presentasi kemarin). Sejauh tidak ada keseragaman kebijakan di berbagai institusi medis pengguna SIK, cloud computing akan menghadapi tantangan dalam menerapkan solusinya pada situasi dan kebutuhan yang amat beragam.
Tentang terbatasnya akses atas data kesehatan yang berada di dalam SIK yang selama ini terjadi, cloud computing menjanjikan akses yang lebih mudah, termasuk bagi mereka yang mobile. Asalkan koneksi internet tersedia, data kesehatan di dalam cloud dapat diakses di mana saja dan kapan saja. Pertanyaan saya adalah, sejauh mana ini sudah diperlukan di lingkungan Indonesia saat ini? Mungkin dalam sekian tahun mendatang, kebutuhan aksesibilitas semacam ini akan semakin nyata, meski mungkin sekarang belum tampak. Menurut saya, ini adalah sebentuk antisipasi PT. Telkom untuk bersiap memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Jika antisipasi ini pas, PT. Telkom akan menjadi pionir dalam solusi e-health yang berupa cloud computing.
Saya rasa akan menarik jika Anda juga membaca tentang Practice Fusion, sebuah solusi cloud computing di dunia medis yang disediakan secara gratis. Menarik pula untuk membaca sebuah ulasan tentang Practice Fusion di sini: http://www.readwriteweb.com/archives/practise_fusion_partners_with_salesforce.php.
FIKI Hari Kedua
Pada hari kedua, terdapat pula beberapa presentasi yang cukup menarik perhatian saya. Satu di antaranya adalah presentasi dari Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemenkes. Presentasi dibuka dengan penjelasan tentang tugas pokok Ditjen BUK, yaitu “merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pembinaan upaya kesehatan”. Ditjen BUK melihat ada beberapa persoalan di lingkungan RS saat ini, di antaranya: pengembangan IT di RS masih dijalankan terpisah (tidak terintegrasi), belum tersedia blueprint untuk HMIS (Hospital Management Information System). Dari tugas pokok yang diberikan kepadanya, Ditjen BUK mengusulkan beberapa solusi untuk permasalahan yang ada saat ini. Beberapa usulan solusi itu di antaranya: penyusunan standar minimal SIMRS, penyusunan aplikasi SIMRS opensource. Di masa mendatang, Ditjen BUK juga berencana untuk menyiapkan sebuah data center yang menampung kiriman data dari semua RS yang ada. Disampaikan juga di dalam presentasi yang sama bahwa Ditjen BUK akan (atau mungkin telah) bekerja sama dengan PT. Telkom untuk mengimplementasikan e-RM (rekam medis online – yang dalam pemahaman saya mungkin adalah Telkom e-Health Cloud – lihat catatan saya di atas) sebagai bentuk kegiatan CSR PT. Telkom.
Secara sekilas tampak adanya kemungkinan tumpang tindih tugas dan kegiatan antara Pusdatin (silakan baca catatan saya sebelumnya) dan Ditjen BUK. Keduanya memiliki tugas pokok yang cukup mirip, dan kemudian juga melakukan beberapa kegiatan yang hampir sama. Pusdatin, meski saat ini masih bergelut dengan pengembangan SIKDA Generik yang ditujukan untuk puskesmas, pada tahun 2012 merencanakan untuk juga mengembangkan SIM RS Generik (yang akan diikuti dengan SIK Dokter Generik). Pusdatin juga tengah mengembangkan Bank Data Daerah dan Nasional untuk menampung data dari puskesmas dan juga RS nantinya (yang jika tidak mengalami kendala teknis, direncanakan untuk diujicoba pada acara Connectathon 2 hari sebelumnya).
Sebagai pengembang SIK, Mas Jojok dan saya merasa bingung dengan kemungkinan dualisme ini. Bagaimana jika nantinya muncul dua standar data dan standar minimal aplikasi, dari Pusdatin dan Ditjen BUK? Yang mana yang harus diikuti oleh para pengembang SIK?
Mas Jojok memutuskan untuk mengambil kesempatan untuk bertanya. Pertanyaannya kurang lebih adalah seperti ini:
“Saya kemarin diundang untuk mengikuti salah satu acara… (menghela nafas) BUK tadi menyampaikan tentang e-health blablabla, data center blablabla. Saya ikut di acara connectathon. Pusdatin sekarang sedang mengembangkan itu juga Pak. Bagaimana sebenarnya bisa ada dualisme pengembangan seperti ini? Pusat saja belum bisa berkoordinasi Pak, bagaimana mau membenahi sistem yang ada? Sudahkah ada koordinasi di antara Ditjen-ditjen yang ada di sini dan Pusdatin? Sudahkah semuanya duduk bareng dan membahas bersama? Saya vendor SIK dengan pengguna lebih dari 400 puskesmas, dan semuanya standar sesuai standar punya saya sendiri. Dan saya menunggu saat seperti ini untuk menyesuaikan diri dengan standar nasional. Kemarin semua vendor juga sudah hadir, dari Ngawi, dari Purworejo, dan semuanya sudah berkomitmen bahwa kami akan selalu mendukung upaya pemerintah untuk menstandarkan ini. Tapi tolong, pemerintah juga sepakat di jajarannya yang berbeda-beda ini untuk saling menstandarkan di antara mereka sendiri.”
Saya melihat pertanyaan ini mewakili kegelisahan para pengembang SIK yang hadir. Dan adanya kegelisahan terbukti dari munculnya pertanyaan senada dari penanya yang lain.
Presenter dari BUK kemudian menanggapi dengan menyatakan bahwa selama ini Ditjen BUK dan Pusdatin telah dan akan selalu berkoordinasi, komunikasi di antara mereka berjalan dengan sangat baik. Beliau menjelaskan bahwa memang setiap direktorat memiliki kebutuhan data yang berbeda, sesuai dengan bidang tugasnya. Dan dalam soal RS, BUK disebutkan sebagai pihak yang memahami kebutuhan data dari RS yang ada. Oleh karena itu BUK memiliki wewenang untuk menentukan dataset minimal RS. Beliau menjelaskan bahwa ini semua tidak berarti tidak ada koordinasi antara BUK dan Pusdatin. Koordinasi berjalan terus dalam rangka menyusun dan mengembangkan sistem-sistem yang diperlukan.
Dari tanggapan tersebut, saya memahami bahwa mungkin memang secara umum BUK lebih memiliki wewenang untuk soal RS, termasuk dalam soal menentukan dataset standar minimal. Dan tentu baik jika benar bahwa BUK telah dan selalu berkoordinasi dengan Pusdatin terkait masalah ini. Namun demikian, tanggapan yang diberikan, seingat saya, tidak menyinggung soal mengapa BUK juga mengembangkan SIMRS opensource dan sebuah data center. Bagaimana itu dikoordinasikan, belum dijelaskan. Sebagai orang lapangan, saya sangat berharap koordinasi itu benar telah dan akan selalu dilakukan. Tersusunnya sebuah dataset kesehatan standar yang dirancang secara matang dengan pertimbangan dan masukan banyak pihak, terutama dari para pengembang SIK dan para pengguna, tentu akan menjadi langkah awal yang baik untuk terbentuknya sebuah data kesehatan nasional yang utuh dan akurat.
Satu hal lain yang menarik dalam FIKI 2011 ini adalah hadirnya beberapa peserta dari Malaysia. Mereka tampak aktif mengikuti setiap acara, dan pada beberapa kesempatan ikut juga mengajukan pertanyaan. Dugaan saya, ini menunjukkan bahwa ada minat dari akademisi / pengusaha Malaysia untuk mulai melirik potensi pasar di dunia kesehatan Indonesia. Jika ini benar, tentu seluruh pihak yang terlibat di dunia kesehatan, terutama informatika kesehatan, patut menjadikan ini sebagai sebuah tantangan untuk makin serius menggarap peluang di negeri kita sendiri, sebelum pihak asing ikut masuk dan mendapat manfaat.
Tentu para peserta FIKI 2011 lainnya bisa memiliki sudut pandang yang berbeda soal hal mana saja yang menarik perhatian mereka. Catatan ini mewakili sudut pandang saya. Semoga catatan ini bermanfaat.