Archive
Bekerja sama
Ketika selesai menonton acara Kick Andy kemarin (19/06) yang membahas perjalanan KPA 3 (Kelompok Paduan Angklung SMA 3 Bandung) bersama alat musik angklung selama 40 hari di Eropa, istri saya memberi komentar, “Memang seharusnya bangsa Indonesia itu selalu bersatu dan bekerja sama. Lha itu alat musiknya saja dirancang tidak untuk dimainkan secara individual. Mesti main barengan agar bisa menghasilkan musik yang bagus.” Dan memang benar, lagu yang dimainkan dengan angklung di acara itu terdengar sangat indah dan harmoni.
Setelah itu saya jadi berpikir lebih jauh, dan rasanya pendapat istri saya itu betul. Coba kita lihat alat musik di Indonesia ini, sepertinya kebanyakan memang dirancang untuk dimainkan secara berkelompok. Ambil contoh gamelan, dengan segala variasi bentuk dan larasnya. Tidak ada yang bisa memainkan alat musik gamelan secara individual. Orang tidak mungkin menghasilkan lagu yang utuh (gak usah indah dulu deh), hanya dengan memainkan bonang, atau saron, atau kenong, atau kethuk, atau gong, dan seterusnya. Tiap alat musik memiliki kontribusinya masing-masing di dalam sebuah lagu. Kita lihat lagi contoh yang lain, kulintang. Alat musik dari Sulawesi Utara ini memang bisa menghasilkan nada yang lengkap. Namun, jika dimainkan secara individual, musik yang dihasilkan akan terasa hampa, karena terlalu banyak jeda di antara tiap nadanya. Apakah pernah kita melihat satu lagu dimainkan oleh satu orang dengan satu kulintang saja? Angklung adalah contoh nyata yang lain.
Jadi, bangsa Indonesia, bersatulah!
Sekolah
Seharusnya sekolah adalah tempat seorang manusia belajar menemukan dan mengenal diri dan lingkungannya, bukan tempat seorang manusia menghafal semua hal mengenai diri dan lingkungannya.
Seharusnya sekolah adalah tempat proses perkembangan dihargai dan terus disemangati untuk dilanjutkan, bukan tempat untuk menentukan nilai akhir, tanpa peduli pada proses yang terjadi.
Seharusnya sekolah adalah tempat seorang manusia belajar menghargai diri dan orang lain, bukan tempat untuk sekedar menghafal teori pekerti.
Seharusnya sekolah adalah tempat perbedaan dan keragaman dirayakan dan dilestarikan, bukan tempat penyeragaman pikiran dan pengetahuan.
Seharusnya sekolah adalah tempat anak manusia menikmati proses belajar dengan riang gembira, bukan tempat pemaksaan belajar.
Seharusnya sekolah adalah tempat setiap anggotanya menjadi pemenang, bukan tempat setiap anggotanya diberi nomor urut berdasarkan kekuatan daya ingat semata.
Kerja keras programmer di operator seluler
Belakangan ini, makin aneh2 aja cara operator seluler dalam mengatur tarif jasanya. Ada yang gratis setelah menit ke-x. Ada yang tarifnya beda setelah 2 menit, sampe menit ke-5, terus balik lagi, demikian seterusnya tiap 5 menitan. Ada yang kalo kita telepon sekian menit lamanya, otomatis dapet bonus pulsa untuk digunakan pada jam2 non-peak. Ada pula yang harus mendaftarkan sekian jumlah nomor yang nantinya tarif telepon ke nomor2 itu akan berbeda, lebih murah dari biasanya. Dan… lain2 lagi.
Seringkali satu operator seluler mengganti2 sistem penarifannya. Makanya saya jadi membayangkan, pasti para programmer yang kerja di operator2 seluler belakangan ini sering diminta kerja keras, nge-set rumus2 tarif.
Atau… jangan2 sistemnya sudah dibuat begitu kompletnya sehingga tiap kali ganti model tarif, settingnya gak susah. Kayak apa ya sistemnya? ‘Auk ah gelap…
Mengawali itu mudah, konsisten itu baru tantangan…
Atas dorongan hasrat nge-blog yang menggebu, blog inipun dibuat. Membuat sebuah blog sih mudah, tinggal pilih nama blog, isi beberapa data tambahan, verifikasi, dan voila! blog jadi.
Menurut saya, itu adalah langkah termudah dari nge-blog. Tantangan sesungguhnya adalah, menulis secara konsisten. Jangan sampe nulis posting pertama, terus bablas, gak pernah nulis lagi :)Semoga saya ingat selalu hal ini….