Archive
Bagan Silsilah Keluarga
“Oh berarti kamu itu cucu dari adiknya kakek saya..”
“Rupanya ibu saya dan suami sepupu saya punya marga (nama keluarga) yang sama..”
Sudah dua kali saya diminta (dan setengah mengajukan diri, karena merasa berminat) untuk menyusun data dan bagan silsilah keluarga. Kali pertama hampir 10 tahun yang lalu, untuk keluarga saya, dari pihak ayah dan ibu. Lalu kali kedua baru saja tahun ini, untuk keluarga besar istri saya.
Ilmu mengumpulkan data silsilah keluarga ini dikenal dengan nama genealogi.
Bagi saya, silsilah keluarga adalah hal yang menarik. Dari situ saya bisa lebih mengenal anggota-anggota keluarga dan menelusuri hubungan antar kerabat. Orang-orang yang sering saya lihat hadir dalam acara-acara keluarga namun belum saya kenal, jadi bisa dikenal dengan tahu nama dan hubungan kekerabatannya dengan saya. Data yang tadinya kebanyakan hanya tersimpan dalam memori orang – dan akan tergerus dengan makin pudarnya daya ingat – dapat dilestarikan. Tidak jarang potongan-potongan data tentang satu hal dikumpulkan dari beberapa sumber. Sangat menyenangkan ketika data sudah terkumpul cukup lengkap dan akhirnya tergelar dalam bentuk daftar dan bagan.
Dalam sejarah, data silsilah banyak digunakan dalam keluarga-keluarga bangsawan, untuk menentukan hak atas kekuasaan dan jabatan di antara mereka. Tidak jarang dalam satu keluarga dengan nama marga yang sama, diciptakan simbol keluarga, seperti coats-of-arms atau dalam bentuk panji-panji bertuliskan karakter nama marga yang dibawa ketika berperang.
Dalam pengalaman saya, yang dikumpulkan terutama hanya data-data pribadi yang penting, seperti nama diri, nama keluarga, foto diri, tempat tanggal lahir, tempat tanggal meninggal (bila telah meninggal) beserta data-data yang sama dari pasangan (istri/suami) dan anak-anaknya. Bila ada, bisa pula disertakan tanggal pernikahan, pekerjaan, data kontak (alamat, no telepon, dll). Tidak jarang dari leluhur yang telah lama meninggal, data yang pentingpun hanya tersedia sebagian saja, misalnya hanya diketahui nama panggilannya saja, nama lengkapnya tidak ada yang tahu. Dari 2 silsilah yang telah saya susun, saat ini saya telah berhasil mengumpulkan data dari 5 generasi, yang secara total meliputi hampir 500 data pribadi, meski tidak semuanya lengkap.
Ada banyak software yang bisa digunakan untuk membantu kita mengumpulkan data silsilah ini. Setelah mencoba beberapa, salah satu di antaranya yang akhirnya saya gunakan adalah Family Tree Builder.
Gara-gara saya mengumpulkan data silsilah ini, saya jadi tahu bahwa keluarga Gan Peng (atau singkatnya keluarga Gan) juga mencoba menyusun silsilah keluarga mereka. Data yang berhasil dikumpulkan sudah mencapai ribuan orang dan meliputi 13 generasi, jumlah yang luar biasa menurut saya. Ketika membaca buku silsilah keluarga Gan ini – yang dari namanya kita bisa tebak berasal dari Cina, saya sempat heran ketika mendapati wajah-wajah dan nama-nama orang keturunan Arab. Rupanya, pada suatu masa dahulu ada beberapa anggota keluarga Gan yang menikah dengan orang Arab, dan dari situlah muncul keturunan-keturunannya yang berwajah dan bernama khas Arab. Keluarga Gan telah beberapa kali mengadakan acara reuni, dan banyak anggota keluarga Gan dari berbagai tempat (bahkan dari berbagai negara) dan berbagai latar belakang budaya hadir.
Tapi yang paling hebat, bahkan hingga masuk dalam Guinness Book of Records, adalah silsilah keluarga Konfusius yang meliputi 80 generasi, yang telah dicatat mulai 2.500 tahun yang lalu. (Referensi: http://www.china.org.cn/china/features/content_16696029.htm, http://news.xinhuanet.com/english/2008-02/16/content_7616027.htm, http://en.wikipedia.org/wiki/Family_tree_of_Confucius_in_the_main_line_of_descent)
Mau mencoba mencatat data silsilah keluarga juga?
Sekilas tentang Pendidikan Seks untuk Anak
Hari Minggu 22 April 2012 kemarin, saya dan istri mengikuti Kelas Belajar Bersama yang diadakan oleh Jogja Parenting Community. Kebetulan kami tertarik dan merasa butuh untuk tahu tentang topik yang akan dibahas: “Gimana Bicara tentang Seksualitas dengan Anak?”. Acara dipandu oleh Fitri Andyaswuri dari JPC, yang akrab disapa Mbak Titi; sedangkan topik dibawakan oleh Arief Sugeng Widodo, yang akrab disapa Paman Dodod. Keduanya alumni Fakultas Psikologi UGM.
Saat melakukan daftar ulang, peserta diberi secarik kertas dengan sebuah pertanyaan: “Apa sebutan yang Anda kenalkan pada anak Anda untuk alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan?” Peserta diminta menuliskan jawabannya di situ sebelum kertas kembali dikumpulkan. Paman Dodod membuka pembahasan dengan menjelaskan bahwa kita adalah produk masyarakat yang belum matang. Ini ditandai dengan belum netralnya kata “seks” di tengah masyarakat. Apa sebetulnya makna kata “seks”? Banyak orang masih keliru dengan mengartikan “seks” sebagai “hubungan seks”, “tabu atau saru”, “jorok”, atau “sesuatu yang hanya untuk orang dewasa”. Padahal arti sebenarnya dari “seks” adalah “jenis kelamin”. Salah satu hambatan dalam memberikan pendidikan seks pada anak adalah dalam hal bahasa. Bahasa dalam pendidikan seks yang mestinya lugas apa adanya. Contoh selain kata “seks” tadi adalah istilah untuk alat kelamin laki-laki dan perempuan. Ada yang mengenalkan alat kelamin laki-laki pada anaknya sebagai “gajah-gajahan”. Padahal semestinya cukup disebutkan sebagai “penis”, dan untuk alat kelamin perempuan: “vagina”. Kedua istilah tersebut adalah istilah baku, sehingga mestinya tidak akan menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu.
Anak dikaruniai rasa ingin tahu yang tinggi. Keingintahuan yang tinggi ini seringkali terwujud dalam bentuk lontaran pertanyaan-pertanyaan, terutama mungkin pada orang tuanya. Saat anak bertanya adalah salah satu momen yang baik untuk memberikan pendidikan seks pada anak, tentunya bila pertanyaan anak menyangkut masalah seks, seperti misalnya: “mengapa punyaku (seorang anak laki-laki misalnya) berbeda dengan punya dik Lina (yang adalah perempuan)?”. Keingintahuan yang sehat ini tentu perlu dipuaskan dengan jawaban-jawaban yang benar dan bijaksana, dan bukan dengan jawaban yang “sopan” tapi salah, atau yang bersifat “menghindar”, karena misalnya orang tua merasa tidak nyaman atau malu menjelaskannya. Semakin keingintahuan tersebut tidak terpuaskan, akan semakin penasaran si anak, dan mungkin ini akan mendorong ia untuk mencari informasi dari sumber lain, seperti misalnya dari internet atau dari sesama teman (yang mungkin sama-sama masih terbatas pengetahuannya). Resiko yang timbul adalah, diperolehnya informasi yang salah. Idealnya, di dalam sebuah keluarga, orang tua dipandang sebagai sumber informasi terpercaya bagi anak. Ini bukan berarti orang tua harus tahu segalanya dan mampu menjawab semua pertanyaan anak. Namun setidaknya orang tua mampu mengarahkan anak untuk mencari (atau bersama-sama mencari) jawaban yang tepat.
Pendidikan seks idealnya mengikuti tumbuh kembang anak. Untuk anak balita misalnya, dapat mulai dikenalkan dengan nama-nama anggota tubuh, termasuk organ seks, untuk menjelaskan identitas jenis kelamin. Kemudian juga meliputi cara perawatan kebersihan dan kesehatan tubuh, termasuk alat kelamin. Dan tentunya, tidak ketinggalan juga pesan-pesan moral dan nilai, seperti misalnya: alat kelamin perlu selalu tertutup, tidak dipertontonkan, tidak boleh disentuh orang lain, dan tidak boleh menyentuh alat kelamin orang lain. Semakin bertambah usia anak, tentu keingintahuan mereka akan makin meluas cakupannya, dan pendidikan seks perlu untuk terus diberikan sesuai dengan usia anak.
Di tengah-tengah acara, ada banyak pertanyaan dan sharing yang muncul dari peserta, salah satu yang menarik menurut saya adalah sharing dari seorang ibu berusia 30 tahun. Ia menceritakan cara ibunya memberikan pendidikan seks pada dirinya. Salah satunya adalah dengan mandi bersama sang ibu. Melalui acara mandi bersama tersebut, si anak dikenalkan pada organ tubuh wanita dewasa. Sang ibu juga terbuka pada si anak saat sedang menstruasi. Sang ibu tidak menganggap hal-hal ini sebagai hal yang tabu. Si anak mendapatkan kesan yang sangat positif, ini membuatnya tidak bingung atau gelisah ketika masa pubertasnya tiba. Informasi yang telah diterimanya sebelumnya dari sang ibu membuatnya siap menghadapi perkembangan tubuhnya. Dan ia berniat untuk memberikan pengetahuan yang sama pada anaknya sekarang.
Tanpa terasa acara tersebut berlangsung selama 2,5 jam. Sebuah acara yang menarik dan bermanfaat bagi kami sebagai orang tua, yang memberikan bekal awal pada kami untuk mampu memberikan pendidikan seks yang tepat untuk anak kami.
Cara mendidik anak ala “ibu Cina”
Sedikit waktu luang di akhir tahun lalu saya isi dengan membaca buku Battle Hymn of The Tiger Mother (edisi terjemahan bahasa Indonesia) tulisan Amy Chua. Amy Chua adalah seorang profesor hukum di Yale Law School. Istri dari suami berdarah Yahudi (dan seorang profesor juga). Putri dari imigran Cina yang berasal dari Filipina. Dilahirkan di tahun Cina berzodiak Macan. Seorang ibu dari dua anak perempuan. Buku ini mengisahkan pengalaman Amy membesarkan kedua putrinya dengan cara ala “ibu Cina”.
Lalu sebenarnya siapa saja yang dimaksud dengan “ibu Cina”, dan apa yang dimaksud dengan cara mendidik anak ala “ibu Cina” oleh Amy?
Buku ini ditulis dalam konteks Amerika, dan di sana banyak dijumpai anak imigran Cina (atau negara Asia Timur lainnya) yang sukses, terutama dalam studinya, tentunya berkat peran seorang “ibu Cina”. Dalam buku Amy Chua ini, “Ibu Cina” tidak selalu merujuk pada seorang ibu berdarah Cina, tapi merujuk pada setiap ibu yang memiliki atribut tertentu, yang umumnya (lagi-lagi dalam konteks Amerika) dimiliki oleh seorang ibu imigran Cina. Jadi, bisa saja seorang ibu Amerika, ibu imigran Polandia atau India termasuk “ibu Cina” juga. “Ibu Cina” percaya bahwa anak-anak mereka mampu menjadi murid yang “terbaik”, dan bahwa “pencapaian di sekolah mencerminkan keberhasilan dalam membesarkan anak”, dan jika anak tidak jadi juara di sekolah pasti ada “masalah” dan orang tua “tidak berhasil melakukan tugasnya”. Berbeda dengan “orang tua Barat”, “orang tua Cina” menggunakan waktu jauh lebih banyak untuk mendampingi dan melatih anak-anak belajar. Keyakinan yang umumnya dimiliki oleh seorang “ibu Cina” di antaranya:
1. Tugas sekolah selalu menempati urutan pertama.
2. Nilai A minus itu jelek.
3. Orangtua tidak boleh memuji anak di depan orang lain.
4. Pergi menginap di rumah teman itu tidak perlu.
5. Menonton TV atau main game komputer itu tidak baik.
Berbeda dengan “ibu Barat” yang “harus memahami anaknya”, yang “berusaha mencari tahu bakat dan minat anaknya”, yang “selalu berusaha membuat anak dalam suasana hati baik dan gembira”, yang “tidak memaksa anaknya untuk melakukan ini dan itu”, membiarkan mereka “menemukan jalannya sendiri”; “ibu Cina” meyakini bahwa adalah tanggung jawab orang tua untuk memandu (dan bila perlu memaksa) anak untuk menjalani sesuatu yang dianggap terbaik. Ini bukan berarti “ibu Cina” seperti Amy mudah tugasnya. Sebaliknya, bagi Amy, ini justru tugas berat untuk orang tua. Orang tua harus mendedikasikan tenaga dan waktu yang besar untuk berperan sebagai “orang tua Cina”.
Buku ini hadir (pada awal 2011 di Amerika) tepat pada saat Cina tengah hadir mengancam dominasi ekonomi Amerika. Dari berbagai pembahasan yang saya baca tentang buku ini, kehadiran buku ini sedikit banyak memaksa orang Amerika untuk bertanya ulang pada diri mereka sendiri, “adakah yang salah dalam sistem pendidikan kita, yang berpengaruh pada merosotnya ekonomi kita?” Pada rilis hasil tes PISA (Program for International Student Assessment) Desember 2010, para siswa Amerika menempati peringkat 17 dalam hal membaca, 23 dalam ilmu pengetahuan alam, dan 31 pada matematika; dalam nilai totalnya menempati peringkat ke 17. Pada rilis tahun 2010 itu, siswa dari Shanghai (bukan Cina secara keseluruhan) mengikuti PISA. Dan hasilnya menggetarkan: mereka menempati peringkat pertama dalam ketiga kategori tersebut. Para analis menjelaskan bahwa ini karena siswa dari Shanghai belajar lebih keras, dengan konsentrasi lebih baik, dalam jumlah jam yang lebih banyak ketimbang siswa Amerika.
Yang cukup mengejutkan, tindakan “ibu Cina” yang selalu menuntut 110% dari anak-anaknya, ternyata mendapat dukungan dari riset dalam bidang ilmu psikologi. Dalam buku A Nation of Wimps, Hara Estroff Marano (editor majalah Psychology Today) mengatakan “riset menunjukkan bahwa anak yang tidak mengalami situasi ‘bergulat’ dengan tugas-tugas sulit, tidak mengembangkan apa yang disebut sebagai ‘pengalaman untuk menguasai sesuatu (kemampuan/keadaan)'”. Marano menjelaskan, “anak-anak yang punya kemampuan dan pengalaman itu cenderung lebih optimistis dan tegas; mereka telah belajar bahwa mereka mampu untuk menaklukkan kesulitan dan meraih berbagai tujuan.”
Terlepas dari semua itu, buku ini jelaslah bukan sebuah manual tentang “bagaimana menjadi ‘ibu Cina'”. Buku ini mengisahkan pengalaman Amy Chua sebagai seorang “ibu Cina”. Dan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud oleh Amy dengan “ibu Cina” (karena apa yang coba saya tuliskan di atas tentu tidak lengkap), tidak ada cara lain selain membaca sendiri buku ini.
Buku ini menarik bagi saya, salah satunya karena ternyata cara mendidik anak ala “ibu Cina” tidak begitu asing bagi saya. Kembali ke masa saya duduk di bangku SD dulu, banyak “ibu Cina” yang mendorong anak-anaknya untuk duduk di peringkat satu kelas. Menunggui anak mengerjakan PR, menjejali anak dengan berbagai les selepas jam sekolah, rajin berkonsultasi dengan para guru membahas apa yang masih kurang dari anak-anak mereka. Ada di antara anak-anak itu yang menjadi orang sukses, ada di antaranya yang terpuruk dalam berbagai kesulitan pribadi.
Secara umum buku ini menarik perhatian saya, bukan karena saya tertarik untuk mencoba pendekatan “ibu Cina”, tapi karena ini sebuah kisah yang cukup lengkap dan detail tentang menjadi orang tua beserta segala tantangannya, yang disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan menarik.
============
Beberapa pembahasan yang menarik untuk dibaca:
http://www.time.com/time/printout/0,8816,2043477,00.html
http://healthland.time.com/2011/01/11/chinese-vs-western-mothers-q-a-with-amy-chua/
http://www.theatlantic.com/magazine/archive/2011/04/sympathy-for-the-tiger-moms/8399/?single_page=true
Kata di dalam benak..
Terbersit ketika melihat anakku tidur lelap malam ini..
==================
Anakku, kita berdua terikat oleh nasib untuk menjalani hubungan sebagai ayah dan anak.
Semua orang tua tidak dapat memilih siapa-siapa saja yang akan dilahirkannya menjadi anak, sebagaimana setiap anak tidak dapat memilih pada orang tua mana ia akan lahir sebagai seorang anak.
Tapi, setiap orang tua dapat memilih cara yang akan ditempuhnya untuk membesarkan si anak.
Setiap orang tua juga dapat memilih warisan baik dan buruk apa yang akan diberikan pada si anak.
Setiap orang tua dapat memilih kata-kata dan tingkah laku apa yang akan ditunjukkan dan dicontohkan pada si anak.
Termasuk aku dan ibumu, kami juga memiliki pilihan-pilihan itu.
Setiap anak dapat memilih tanggapan apa yang akan diberikannya pada sikap dan tingkah laku orang tuanya.
Setiap anak juga dapat memilih cara apa yang akan ditempuhnya untuk membahagiakan orang tuanya.
Termasuk dirimu, engkau juga memiliki pilihan-pilihan itu.
Anakku, aku dan ibumu bersyukur atas kehadiranmu di keluarga kecil kami.
Bisa saja engkau hadir di keluarga lain, rumah lain, atau kota lain.
Tapi ternyata engkau hadir di sini.
Engkau anak kami, kami orang tuamu, itu bukan pilihan, itu sudah ditentukan.
Tapi kita – aku, ibumu, dan engkau – punya banyak sekali pilihan pikiran, sikap, kata-kata, dan tindakan untuk kita isikan dalam perjalanan hubungan kita sebagai orang tua dan anak.
Aku berdoa, agar kita bijaksana – dan terus makin bijaksana – dalam mengambil pilihan-pilihan kita.
Selamat malam anakku. Tidurlah lelap. Ayah menjagamu.
==================