Abonemen Koran
Kemarin saya mengabarkan pada loper koran saya bahwa mulai bulan depan saya berniat menghentikan langganan harian cetak Kompas.
Sulit untuk dijelaskan kapan saya mulai berlangganan Kompas.
Saya mulai membaca Kompas rasanya sejak saya mulai bisa membaca. Kompas malah jadi salah satu sarana untuk saya belajar membaca. Ibu mengajak saya membaca Kompas. Awalnya membaca berita-berita yang pendek saja. Lalu ketika saya mulai menaruh minat pada novel detektif remaja, saya juga mulai diajak membaca berita tentang kriminalitas di Kompas yang dulu ditempatkan di halaman depan bagian bawah.
Dulu kami sekeluarga membaca Kompas yang “kadaluarsa”. Yang berlangganan adalah kakek saya, yang tinggal beda rumah tapi sekota dengan keluarga saya. Tiap hari ayah saya berangkat bekerja di tempat kakek saya. Saat sore hari ayah pulang, ia membawa pulang Kompas hari sebelumnya. Saya tidak ingat apa yang terjadi ketika hari Minggu. Mungkin Kompas edisi Sabtu dan Minggu dibawa pulang sekaligus pada Senin sore. Saya biasa baca koran sore hari atau pagi hari saat bersiap berangkat sekolah. Jadi bisa dibayangkan betapa “terlambatnya” berita yang saya baca di rumah. Isi berita Kompas Senin, baru saya baca Selasa sore atau Rabu pagi. Padahal Kompas Senin itu memberitakan kejadian hari Minggu (atau bahkan Sabtu). Namun demikian saya menikmati pengalaman dan kenangan itu.
Saat masa awal saya berkuliah di Yogya, ibu kos berlangganan dua koran: Kompas dan harian lokal Kedaulatan Rakyat. Saya harus jujur, memang terasa betul perbedaan kualitas penulisan beritanya. Namun kemudian ketika biaya abonemen Kompas naik, ibu kos menghentikan langganan Kompas yang memang harganya lebih mahal daripada KR. Jadilah ketika saya pulang ke rumah tiap akhir minggu, saya membaca Kompas seminggu secara maraton.
Ketika saya mulai mulai tinggal di rumah sendiri, saya jadi mulai berlangganan Kompas secara mandiri. Saya sudah lupa berapa biaya berlangganan bulanan waktu itu. Rasanya tidak sampai limapuluh ribu rupiah. Koran basah kena hujan, penuh abu vulkanik, dijemur dulu sebelum dibaca saat masa pandemi, semua saya alami.
Di rumah, cuma saya yang baca koran cetak. Eh kadang-kadang istri baca juga, meski hanya untuk cari info promo belanja bahan masakan. Suatu kali loper koran saya pernah bercerita, “Mas, njenengan pelanggan koran termuda dalam daftar pelanggan saya.” Sudah jadi makhluk langka rupanya.
Beberapa tahun lalu mulai muncul Kompas versi digital. Saya paham, senjakala koran cetak akhirnya tiba di sini. Saya sempat mencoba membaca koran digital, namun rasanya tetap beda. Dasar cah lawasan. Dasar sentimentil. Namun migrasi menuju digitalisasi makin didesakkan. Biaya abonemen harian cetak dinaikkan terus dan makin ekstrem. Jika tak salah hitung, dalam 2 tahun terakhir ini naik 100%.
Sejak awal tahun ini ketika harga terbaru muncul, saya mulai mempertimbangkan untuk menghentikan abonemen. Ketika ada promo abonemen Kompas digital, saya ambil saja. Saya mulai menginstall dan membaca berita dari ponsel atau tablet. Tetap beda rasanya. Tapi saya mendapati bahwa versi digital sedikit lebih banyak isinya. Tibalah saya pada keputusan untuk menghentikan abonemen Kompas cetak.
Saya tidak tahu, ini keputusan permanen atau tidak. Mungkin suatu ketika saya akan rindu dengan bau kertas koran dan membelinya secara eceran. Bisa jadi juga saya memilih untuk kembali berlangganan. Entahlah.