Film “Di Timur Matahari”
“Di Timur Matahari” tidak begitu menarik sebagai sebuah film. Alur cerita terkesan kurang mulus, terselipnya humor ‘garing’ di sana-sini (contoh: Mazmur yang awalnya dikabarkan meninggal, ternyata tidak), akting yang tampak agak kaku dari beberapa aktornya.
Tapi sebagai sebentuk usaha menyampaikan apa saja yang ada dan terjadi di tanah Papua, ia tampak lengkap, tentu dengan asumsi kita percaya pada kacamata produser dan sutradaranya. Ada banyak hal yang ditampilkan di film itu, mulai dari keindahan pemandangan di sana, hingga ketimpangan kondisi masyarakatnya bila dibandingkan dengan bagian Indonesia yang lain, katakanlah Jawa.
Persoalan dalam hal pendidikan ditunjukkan dengan sekolah yang hadir tanpa tenaga guru hingga berbulan-bulan. Jomplangnya harga bahan pokok dan potensi masalah dalam NKRI ditampilkan secara mencolok melalui ucapan tokoh Vina: “Minyak goreng 10 liter Rp 350 ribu. Beras 2 karung Rp 1,8 juta. Gila.. Gimana nggak pada minta merdeka…”
Masalah perbedaan cara pandang terhadap hukum adat ditampilkan berkali-kali, diwakili oleh soal denda adat, balas dendam hutang nyawa, dan soal adat potong jari tangan.
Tak ketinggalan pula ditunjukkan potensi SDA Papua, yang menarik Ucok si perantau untuk mengadu nasib di sana, di tengah banyaknya SDM setempat yang menganggur dan sulit mencari kerja karena tak punya kemampuan bekerja yang memadai.
“Di Timur Matahari” mencoba menyampaikan begitu banyak hal, sehingga tiap penonton bisa saja menangkap pesan yang berbeda. Adegan penutupnya pun bisa ditafsirkan beraneka rupa: seorang bocah Papua beringus duduk menunggu di gubuk sebelah lapangan rumput tempat pendaratan pesawat perintis sambil memegang secarik kain merah putih yang tampak kusam.