Home > budaya, ekonomi > Insentif

Insentif

Setiap hal yang dilakukan semua orang, selalu didorong oleh iming2 insentif, entah insentif itu berwujud ataupun tidak, entah besar atau kecil, entah di mata orang lain itu merupakan insentif atau bukan. Orang bekerja, karena ada insentif uang. Cuma uang? Bisa jadi tidak hanya karena uang. Tapi juga karena status sosial yang diperoleh dari pekerjaan itu. Atau karena ada insentif lain lagi. Orang menaati peraturan, karena ada insentif berupa terhindar dari sanksi. Orang melanggar peraturan? Ya bisa jadi karena insentif yang berupa terhindarnya dia dari sanksi dianggapnya tidak lagi memadai sebagai insentif yang layak diterima dari usahanya menaati peraturan.

Kira2 seperti itulah kerja insentif.

Tantangan bagi regulator, dalam level apapun – entah Ketua RT, Pak/Ibu Lurah, seorang ayah, dll, adalah menentukan bentuk dan letak insentif secara tepat. Aturan dari si ayah agar anak belajar tiap malam bisa saja tidak ditaati oleh si anak, karena insentif berupa ‘tidak dimarahi jika tidak belajar’ dianggap tidak cukup layak olehnya. Kenikmatan (?) tidak belajar lebih besar ketimbang ‘kesengsaraan’ dimarahi si ayah karena tidak belajar. Aturan agar kendaraan pribadi tidak masuk jalur busway, bisa saja dilanggar ketika jalur umum begitu macetnya, sehingga si pengendara lebih memilih mengambil resiko dengan masuk jalur busway. Banyak orang memilih beralih menggunakan LPG ketika menyadari bahwa minyak tanah makin sulit diperoleh, dan harganya makin mahal. Sekarang, orang kembali harus berpikir, ketika menyimak berita2 kompor gas yang meledak (terlepas dari faktor apapun penyebab ledakan itu), layakkah insentif murahnya dan mudahnya diperoleh LPG itu bila dibandingkan dengan resiko yang mereka lihat di berbagai media.

Insentif yang tidak ditawarkan dan diletakkan secara tepat, bisa mengakibatkan kacaunya tatanan dan perencanaan.

Contohnya? Baiklah. Ketika orang melihat peluang kerja dan peluang mendapat penghasilan yang layak di Jakarta amat besar, dianggap jauh lebih besar ketimbang di daerah2 lain, orangpun berbondong2 pergi ke Jakarta. Mungkin insentif itu tidak dengan sengaja dirancang dan dibuat, tapi itulah yang orang lihat.

Contoh lain? Baiklah. Banyak jabatan ditentukan bermasa kerja 5 tahun. Menurut saya, sistem 5 tahunan ini memberi insentif pada mereka yang menjabat untuk berjuang secara 5 tahunan, dengan klimaks perjuangan terletak pada awal dan akhir masa jabatan. Pada awal masa jabatan, karena janji mereka pada awal masa jabatan secara gencar ditagih orang2 yang mendudukkan mereka pada kursi jabatan tersebut. Pada akhir masa kerja, karena sebentar kemudian akan datang masa pemilihan atau penentuan, di mana terjadi penentuan diperpanjang atau tidaknya masa kerja mereka. Bila kita berharap, banyak kegiatan dirancang secara jangka panjang misalnya, saya khawatir kita telah menyusun sistem insentif yang salah untuk harapan itu. Sistem insentif yang ada mendorong orang, siapapun yang duduk pada jabatan itu, untuk bekerja secara 5 tahunan. Apakah semua pejabat demikian? Mungkin tidak. Ada yang bekerja secara hebat dan tekun sepanjang masa jabatannya. Bisa jadi karena ia meyakini adanya insentif non material, di luar soal gaji dan status.

Mmm… dan saya diharapkan memberi usulan atau saran, di ujung tulisan ini? Maaf, belum ada insentif yang layak bagi saya untuk melakukan itu 😀

*Ide catatan ini muncul setelah berhasil menyelesaikan membaca sebuah buku ekonomi populer, hampir setahun setelah dibeli 🙂

Categories: budaya, ekonomi Tags:
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: