Home > Indonesia, IT, layanan publik, opensource > Catatan kecil seputar GCOS (Global Conference on Open Source), 26-27 Oktober 2009 (bag 3)

Catatan kecil seputar GCOS (Global Conference on Open Source), 26-27 Oktober 2009 (bag 3)

Pada hari kedua GCOS, saya dan Mas Jojok hadir pada Workshop 141, yang memasang tema “FOSS for Health”. Mas Jojok mendapat bagian untuk ikut berbicara pada sesi kedua, dimana ia diminta untuk menceritakan pengalamannya berkeliling dan mengimplementasikan Simpus ke banyak puskesmas. Dari pengamatan saya, pembicara yang ada sebagian berasal dari kalangan akademis, hanya ada satu yang berasal dari kalangan birokrat (Pak Untung dari Pusdatin Depkes), dan satu yang lain lagi dari kalangan freelancer, Mas Jojok sendiri. Oh ya, terlewat satu, ada Mas Yudhi Yuswaldi yang datang dari RS Pertamina Jaya, yang telah mengimplementasikan sebuah HIS di sana.

Saya yang berlatar belakang freelancer juga, seperti halnya Mas Jojok, merasa kurang nyaman berbicara soal konsep dan teori. Kami berangkat dari pengalaman di lapangan, berhadapan dengan sejuta masalah nyata di sana, dan terbiasa dengan tuntutan untuk menyelesaikan banyak masalah dalam waktu singkat dan segera. Berbeda agak jauh dengan teman-teman akademisi, yang terbiasa bekerja dalam lingkup konsep yang tertata, merangkai teori-teori yang ada untuk mencoba membuat sebuah prototipe software atau hardware, yang kemudian diuji dalam lingkup terbatas.

Pada malam sebelumnya, saya dan Mas Jojok berdiskusi mempersiapkan presentasi esok harinya. Melihat daftar pembicara yang akan tampil, sempat muncul kekuatiran dari kami jika kami harus berbicara juga mengenai konsep, konsep Simpus. Jika menilik sejarah perjalanan Simpus yang dirintis Mas Jojok, Simpus muncul sebagai upaya untuk menjawab permasalahan nyata yang dihadapi sebuah puskesmas. Sedari awal Simpus sudah dituntut untuk tampil ringkas walau dengan banyak fitur, mudah digunakan oleh siapa saja walau data yang harus diisikan banyak, dan mampu menampilkan laporan dengan cepat. Simpus tidak berangkat dari konsep yang dipikirkan dalam kaidah ilmu informatika yang sempurna, juga tidak melalui proses riset berbulan-bulan atau bertahun-tahun, walau bukan pula dipikirkan secara serampangan. Melihat itu semua, akhirnya kami bersepakat untuk menampilkan Simpus sebagaimana adanya, toh kami (tepatnya Mas Jojok) diundang untuk memberikan cerita tentang pengalaman selama ini bergelut dengan Simpus. Kami berupaya menampilkan potret nyata Simpus, tantangan yang dihadapinya di lapangan, dan adaptasi serta pengembangan yang kemudian dilakukan untuk mengatasi tantangan-tantangan itu.

Dan materi itu yang akhirnya kami siapkan dan kemudian dengan baik dipresentasikan oleh Mas Jojok. Sebuah apresiasi dari Prof. Soegijardjo Soegijoko – dari ITB – ikut menambah semangat Mas Jojok untuk membawakan presentasi. Beliau memberikan seribu jempol untuk tim kami. Beliau mengatakan, melakukan implementasi Simpus pada satu puskesmas saja bukanlah suatu hal yang sederhana. Apalagi melakukan implementasi Simpus untuk ratusan puskesmas, itu adalah hal yang sangat baik, tentunya. (Makasih Prof, untuk apresiasinya, itu sangat menambah motivasi dan semangat kami untuk melakukan yang lebih baik lagi.)

Sungguh, mempertemukan suatu implementasi yang sempurna, dengan konsep yang sempurna, tidaklah mudah. Apa yang secara konsep dianggap baik, belum tentu bisa mengatasi tantangan nyata di lapangan. Sebaliknya, apa yang dianggap berjalan baik di lapangan, belum tentu didukung dengan konsep yang tepat.

Saya melihat ada banyak hal baru (setidaknya bagi saya) yang disampaikan oleh pembicara-pembicara yang lain. Seperti misalnya soal OpenEHR, yang telah disimulasikan mampu menjembatani beberapa varian Simpus yang berbeda untuk saling bertukar data. Walau saat ini masih dalam tataran ujicoba dalam lingkungan terbatas dan dalam jumlah data yang terbatas juga (Bu Putri – dari ITB – menceritakan bahwa sudah diujicoba untuk 2 puskesmas di Bandung), jika pada akhirnya nanti berhasil diterapkan dalam skala yang lebih besar, tentunya adalah hal yang baik juga.

Dunia kesehatan Indonesia yang penuh dengan keberagaman: keberagaman sumber daya dan sumber dana, keberagaman tantangan, dan keberagaman kebutuhan, memerlukan kerjasama yang baik antara semua pihak yang terlibat: akademisi, praktisi, birokrasi, dan masyarakat luas. Rasanya tidak ada manfaat secuilpun dari sekedar meributkan aplikasi kesehatan mana yang paling baik dan lengkap atau konsep mana yang paling benar. Akan menjadi lebih baik bila semua pihak terus mengerjakan yang terbaik, sebaik yang ia mampu, sambil membuka diri dengan pihak lain, saling bekerja sama; agar terwujud pelayanan kesehatan masyarakat yang layak.

  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: