Sekeping nasionalisme dalam bulutangkis
Saya baru saja pulang dari nonton film King. Dengan segala kekurangannya – yang tidak akan saya bahas di sini – bagi saya film ini menarik. Film ini mengingatkan saya pada masa ketika dunia bulutangkis Indonesia berjaya di panggung dunia. Ketika itu, tiap kali ada pertandingan bulutangkis yang disiarkan di televisi, jalanan selalu sepi, semua mata terarah pada televisi, entah televisi di rumah sendiri, atau di kantor kecamatan, atau di tempat lain. Saat pendekar bulutangkis kita meraih poin, semua bersorak. Saat lawan gantian memperoleh poin, semua kecewa. Ketika posisi poin pemain kita sedang kritis, semua berdoa. Ya, saya yakin seluruh bangsa ini berdoa, demi kemenangan jagoannya. Belum lagi kalau penyiar legendaris, Sambas, menyerukan, memanjatkan doa. Saat pemain kita menang, seluruh rakyat bersorak. Betapa hebat, bulutangkis mampu menyatukan semangat seluruh bangsa!
Tapi tidak hanya itu. Bulutangkis juga menggerakkan ekonomi sebagian masyarakat. Saya tahu persis, karena ayah saya termasuk pengusaha kecil bola bulutangkis (kok). Beliau adalah generasi ketiga dari usaha kecil keluarga itu. Tiap kali Indonesia memenangkan Piala Thomas atau Uber, atau keduanya, dapat dipastikan, pesanan kok bakal meningkat pesat. Stok di rumah kami dalam waktu singkat, ludes. Semua tukang yang bekerja di rumah kami, pemasok bulu, pemasok kulit, pemasok gabus, semua yang terlibat dalam proses produksi kok, ikut merasakan berkahnya.
Bulutangkis mampu menyatukan semangat bangsa, bulutangkis juga mampu ikut menggerakkan roda ekonomi bangsa. Nah, sekarang soal pengabdian dan pengorbanan. Sampai sekarang, saya masih kagum dengan para atlet kita waktu itu. Hadiah dari kejuaraan waktu itu belum begitu besar, setidaknya masih jauh dibandingkan sekarang. Malahan, jumlah kejuaraan yang digelar dan mungkin untuk diikuti dan dimenangkan, juga tidak sebanyak sekarang. Mengapa mereka mau terus berjuang di dunia bulutangkis? Tentu ada banyak alasan pribadi yang mungkin, namun salah satunya, menurut saya, tergambar di akhir film King: terdengarnya Indonesia Raya di berbagai pojok dunia. Mendengarnya di film saja, film fiksi pula, membuat saya merinding. Apalagi bila mendengarnya sambil berdiri di podium, ikut merasakan banyak pemirsa televisi yang menyaksikannya ikut menyanyi dan berbangga pula. Sungguh suatu kebahagiaan tersendiri. Imbalan yang layak atas pengabdian tanpa pamrih: kejayaan bangsa di berbagai pentas dunia.
Andaikan saja, semua dari kita, rakyat beserta segenap aparat pemerintah, memiliki semangat mengabdi, rasa nasionalisme yang sama.. Indonesia sungguh akan menjadi bangsa yang besar.
moga bulu tangkis indonesia tmbh maju
Bulutangkis atau prestasi anak bangsa (apapun itu), bila disertai ulasan media nan tepat &optimis akan masalah kronik bangsa ini, saya yakin dapat menaikkan kepercayaan diri bangsa Indonesia lebih cepat…
seperti terulas dalam Sport Nasionalism